silakan menikmati

Blog ini saya gunakan untuk menyimpan tulisan-tulisan saya sendiri dan juga tulisan-tulisan lain yang inspiratif.
Jangan sungkan untuk berkomentar.

Sunday, June 20, 2010

Zakat Jiwa dan Wihdat Al-Wujud

Here are some parts of a paper by Prof. Dr. Mahmoud Ghurab, in "International Seminar on Islamic Mysticism : The Soul According to Ibn Arabi".
Semoga bermanfaat ...

A'udzubillaahiminassyaithaannirrajiim... Bismillaahirrahmaanirrahiim ...

Allah SWT berfirman :
"Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya" (QS 91 :9) ...
Maka (dalam ayat ini), Allah telah menempatkan jiwa kita seperti harta yang kita miliki; dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa jiwa itu ada zakatnya, sebagaimana harta kita juga harus dizakati, sebagaimana juga Allah telah menempatkan jiwa kita seperti harta benda juga yang bisa diperjualbelikan.

Maka penyucian jiwa itu dengan menghiasinya dan membersihkannya; membersihkannya dari hal-hal yang tercela dan menghiasinya dengan perbuatan-perbuatan yang membuatnya mulia. Maka barangsiapa yang menyucikan jiwanya dengan ketakwaannya dan dari perbuatan-perbuatan buruk yang memang harus dihindarinya, dan di sisi lain mengambil dari ilham Allah, apa-apa yang seharusnya diambil dari ilham itu, maka jika demikian orang itu pasti beruntung.

Ketika zakat diartikan sebagai sebuah penyucian, dan diketahui bahwa harta yang dikeluarkan dalam bentuk sedekah (zakat) sejatinya bukanlah milik orang yang diperintahkan untuk mengeluarkan, karena sebenarnya harta itu adalah amanat yang harus disampaikan kepada pemiliknya dan tidak ada yang berhak menikmatinya selain pemiliknya tersebut, meskipun sementara ini harta itu masih ada di tangan orang lain, harta itu adalah amanat yang harus disampaikan kepada yang berhak; maka demikian juga halnya dengan zakatnya jiwa.

Jiwa-jiwa itu mempunyai sifat-sifat yang berhak dimilikinya, yaitu segala sifat yang berhak dimiliki dzat yang bersifat mungkin (bukan Wajib al-Wujud). Kadang-kadang kita mendapatkan bahwa manusia diberi predikat sifat-sifat yang tidak berhak dimiliki oleh sebuah dzat yang bersifat mungkin, dilihat dari perspektif dzatnya itu sendiri; sifat-sifat itu hanya berhak dimiliki oleh Allah, dan kalau manusia diberi predikat sifat-sifat Allah, maka kesejatian sifat itu harus dilihat untuk membedakan dengan sifat-sifat yang mungkin dimiliki oleh seorang manusia.

Di sisi lain kita mendapatkan bahwa kadang-kadang Allah memberikan predikat pada dirinya sendiri berupa sifat-sifat yang sejatinya hanya berhak dimiliki oleh makhluk yang bersifat mungkin, sebagai bentuk penurunan derajat dari Allah sendiri untuk menunjukkan Rahmat Kasih Sayang-Nya kepada para hamba-Nya.

Maka dari sini bisa ditegaskan bahwa zakat jiwamu adalah mengeluarkan hak Allah dari jiwamu sendiri, dengan cara menyucikannya dari berbagai sifat yang sejatinya bukan milik jiwamu itu sendiri. Maka dengan demikian engkau akan mengambil sifatmu daripada-Nya dan memberikan apa yang sejatinya harus engkau haturkan kepada-Nya. Maka sungguh beruntunglah orang yang telah mengeluarkan zakat jiwanya, dengan cara tidak melewati batas yang telah ditentukan untuknya dan memegang teguh komitmen statusnya sebagai seorang hamba Allah.

Dan telah kecewa/ tercela siapapun yang telah mencampurkan atau memasukkan jiwanya ke dalam sifat-sifat ketuhanan. Padahal sifat mungkin bagi sebuah dzat yang mungkin adalah bersifat wajib untuk disandangnya, dan demikianlah untuk seterusnya, status itu berlaku untuknya. Sementara Allah Ta'ala tidak pantas untuk disemati dengan sifat mungkin. Maha Suci Allah dari sifat itu, karena sesungguhnya Allah SWT adalah zat yang wajib wujud-Nya, tidaklah bersifat mungkin dilihat dari aspek apapun.

Dan sekarang, kita telah mendapatkan bahwa jiwa kita ini telah mempunyai sifat ada. Maka kita bertanya-tanya : apakah sifat wujud ini dimiliki oleh sebuah jiwa sebagai jiwa itu sendiri atau tidak ? ataukah dimiliki karena sebab yang lain ? Maka sekarang kita melihat bahwa wujudnya itu bukanlah hakikat dari dzatnya itu sendiri, dan jiwa itu tidak memiliki sifat ada itu sendiri.

Karena itu kita berpikir lebih lanut : lalu dengan demikian, siapakah yang sejatinya memiliki wujud tersebut ? Ternyata kita mendapatkan bahwa pemiliknya yang sejati adalah Allah SWT. Sama dengan yang kita dapatkan bahwa harta Zaid yang harus dizakati sejatinya bukanlah milik Zaid, harta itu sejatinya adalah titipan yang diamanatkan kepadanya. Begitu juga sifat wujud yang dimiliki oleh jiwa kita bukanlah milik kita pada hakikatnya, sifat itu sejatinya adalah milik Allah yang menciptakannya.

Maka sifat wujud itu adalah milik Allah, bukan milik jiwa itu sendiri. Dan itu adalah wujud Allah sendiri, bukan wujudnya jiwa tersebut. Maka kita katakan kepada jiwa ini : sifat wujud yang sekarang dipredikatkan kepada anda sejatinya bukan milik anada sendiri, itu adalah milik Allah yang disematkan kepada anda, maka keluarkanlah sifat itu kepada Allah dan sematkanlah kepada pemiliknya yang sejati. Sementara dirimu, biarlah engkau tetap disifati sebagai dzat yang mungkin, jangan bergeser-geser, karena tidak ada yang berkurang dari hal-hal yang menjadi milikmu sendiri.

Kalau engkau melakukan hal ini, maka engkau akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, sebagaimana pahala yang diberikan kepada para ulama yang mencapai tingkat makrifat kepada Allah; engkau akan mendapatkan kedudukan yang tidak ada seorang mengetahui tingkat kemuliannya kecuali Allah semata, dan itulah kemenangan yang diberikan kepadamu, berupa kekekalan. Maksudnya Allah akan mengekalkan wujud itu untukmu dan tidak akan mengambilnya darimu. [(Inilah pengertian yang sebenarnya daripada teori Wihdat al-Wujud, menurut Syaikh Akbar Ibnu'Arabi)].

Inilah pengertian dari firman Allah :"Sungguh beruntung orang yang telah mensucikan/mengeluarkan zakat jiwa itu". Maksudnya orang yang telah mensucikannya telah mengekalkan wujudnya, yaitu wujud yang berhasil mengalahkan keburukan. dan dengan pensucian itu, maka orang-orang ahli makrifat telah mendapatkan keberuntungannya, karena mereka telah mengetahui siapa yang sejatinya berhak disemati dengan predikat wujud, dan bahwasannya sifat wujud yang kiranya dimilikinya itu, pada hakikatnya didapatkannya dari Allah Yang Maha Benar.

Maka dengan demikian, kita mengetahui bahwa wajib kita mengeluarkan zakat jiwa kita sebagaimana diwajibkan kepada kita untuk mengeluarkan zakat harta kita. Dan dari sini kita mengerti pula bagaimana jiwa kita menjadi objek jual beli, sebagaimana harta kita menjadi objek jual beli pula. Dan keharusan mengeluarkan zakat jiwa jauh lebih ditekankan daripada kewajiban mengeluarkan zakat harta, karena kita mendapatkan bahwa Allah SWT telah mendahulukan pengorbanan jiwa dalam jual beli amal perbuatan, sebagaimana tersebut dalam firman Allah :"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman jiwa-jiwa mereka", baru kemudian Allah berfirman, "Dan juga harta benda mereka".

Dan ketahuilah pula bahwa jiwa-jiwa manusia tidak akan menjadi suci kecuali kalau bersama dengan Tuhannya, dengan kebersamaan bersama Tuhannya itulah dirinya akan menjadi mulia dan tinggi derajatnya. Karena hakikat sebuah zakat adalah yang berlebih (dari hak milik). Maka barangsiapa Allah yang Maha Benar menjadi pendengarannya, penglihatannya, dan bahkan semua daya kekuatannya, sementara yang tampak dalam bentuk luarnya, kenyataannya adalah bentuknya seorang makhluk, maka sejatinya jiwa orang yang mempunyai sifat-sifat ini telah tersucikan. Karena itu Allah berfirman : "Sungguh telah beruntung dia", dan dengan ayat ini Allah telah memberikan kepada jiwa itu sifat kekal yang sejatinya adalah milik Allah semata.

Sebagaimana Allah berfirman kemudian, "Dan telah kecewa barangsiapa yang mencampurkannya", karena jiwa itu telah alpa untuk mengetahui bahwa sejatinya dia tidak berdaya dan hanya Allah semata yang menmpunyai daya kekuatan...

Alhamdulillahirabbil'aalamiin ...

03.30, Puter 1 Bintaro,
15 Juni 2010, 2 Rajab 1431 H.

- Sentari Tanuwijaya -

No comments: