silakan menikmati

Blog ini saya gunakan untuk menyimpan tulisan-tulisan saya sendiri dan juga tulisan-tulisan lain yang inspiratif.
Jangan sungkan untuk berkomentar.

Thursday, October 22, 2015

Bawwa Muhayaiddin

Al Qur'an tidak mengajarkan kebencian terhadap mereka yang berbeda agama, sebaliknya ia menerima semua yang berjalan mencari-Nya melalui jalan yang berbeda-beda sebagai satu kesatuan. Al Qur'an mengajarkan agar kita melakukan apa-apa yang Allah sukai dan meninggalkan sesuatu yang Allah tidak sukai. Perilaku setan (sombong, pemarah, terburu-buru, dusta, menipu dsb), penyalahgunaan obat, kecanduan alkohol, menyakiti sesama adalah sifat-sifat buruk yang dilarang dilakukan untuk kebaikan diri dan sesama. Semua sifat-sifat buruk itu yang senantiasa diseru untuk dijauhi oleh setiap nabi, rasul dan para wali-Nya dari masa ke masa. Jika seseorang betul-betul memahami dan menghayati ajaran Rasulullah Muhammad saw, maka kita tidak akan mudah melabeli seseorang atau suatu kaum sebagai musuh yang patut diberantas. Perbedaan adalah rahmat Allah, bukan sesuatu yang layak ditakuti untuk kemudian dipaksakan sama demi jargon keseragaman. Siapapun yang menerima Tuhan dalam hidupnya - terlepas apapun panggilan Tuhan baginya - adalah saudara kita. Tidak masalah apapun agama, kitab suci atau nabi yang diikuti, kita semua adalah keturunan Adam a.s dan keluarga besar Ibrahim a.s. Seperti halnya bulan dan matahari yang memancarkan sinarnya dan menerpa apapun tanpa kecuali. Demikian seperti hujan yang turun dan angin yang bertiup tanpa syarat di bumi-Nya yang manapun. Seperti itulah laiknya budi baik kita terhadap sesama terpancar, tanpa membedakan warna kulit, ras, agama atau status sosial. Inilah yang Al Qur'an ajarkan. (Adaptasi dan terjemahan dari "Justice for All. Islam and World Peace. Muhammad Raheem Bawa Muhaiyyaddeen)

Abu Nashr

Masih ingat kisah Abu Nashr? Seorang nelayan yang hidupnya serba kekurangan, setelah kaya dia shodaqohkan hartanya hingga puluhan ribu dirham. Suatu ketika Abu Nashr bermimpi dihadapkan pada hari perhitungan. Seruan Sang Penyeru memanggil namanya: “Wahai Abu Nashr Seorang nelayan, kemarilah. Amal kebaikan dan keburukanmu akan diperhitungkan saat ini.” Namun setelah ditimbang, amal keburukannya ternyata lebih berat. Dia bertanya: ”Dimana Amal shodaqohku?” Lalu harta shodaqohnya pun digabungkan. Ternyata dari setiap 1000 dirham yang dishodaqohkan terdapat kesombongan. Sehingga timbangannya ringan bagaikan kapas. Abu Nashr pun menangis, sambil berkata: ’Ya Allah, bagaimanakah aku bisa selamat?” Kemudian terdengar seruan lagi: “Apakah masih ada kebaikan yang dia miliki?” "Ya, masih ada 2 bungkus makanan.” jawab malaikat. Kemudian amalan 2 bungkus makanan pun diletakkan di sisi kebaikan. Rupanya sangat berpengaruh hingga timbangan pun menjadi seimbang. Kemudian terdengar seruan lagi: "Apakah masih ada kebaikan yang dia miliki?” “Ya, masih ada.” jawab malaikat. “Apakah itu?” “Air mata wanita yang menangis haru saat diberikan 2 bungkus makanan.” Ketika air mata itu diletakkan ternyata beratnya seperti batu, sehingga timbangan kebaikan Abu Nashr menjadi lebih berat. "Apakah masih ada lagi yang dia miliki?” “Ya ada.” jawab malaikat. “Apa itu?” Senyuman si anak wanita tersebut ketika diberikan makanan kepadanya. Lalu terdengarlah seruan: “Dia telah selamat!” “Dia telah selamat!” Dan Abu Nashr pun terbangun dari tidurnya, Subhanallah! Wahai Diri! Allah tidak melihat dari berapa banyak harta yang kita shodaqohkan. Namun Allah lebih memperhatikan seberapa besar ketulusan hati kita ketika memberikan shodaqoh.

ADA BERKAH DALAM LELAH

Ada 8 kelelahan yang disukai Allah SWT dan RasulNya : 1. Lelah dalam berjihad di jalan-Nya (QS. 9:111) 2. Lelah dalam berda'wah/mengajak kepada kebaikan (QS.41:33) 3. Lelah dalam beribadah dan beramal sholeh (QS.29:69) 4. Lelah mengandung, melahirkan, menyusui. merawat dan mendidik putra/putri amanah Illahi (QS. 31:14) 5. Lelah dalam mencari nafkah halal (QS. 62:10) 6. Lelah mengurus keluarga (QS. 66:6) 7. Lelah dalam belajar/menuntut ilmu (QS. 3:79) 8. Lelah dalam kesusahan, kekurangan dan sakit (QS.2:155) Semoga kelelahan dan kepayahan yang kita rasakan menjadi bagian yang disukai Allah dan RasulNya. Aamiin yaa Rabbal-'aalamiin Lelah itu nikmat. Bagaimana mungkin? Logikanya bagaimana? Jika anda seorang ayah, yang seharian bekerja keras mencari nafkah sehingga pulang ke rumah dalam kelelahan yang sangat. Itu adalah nikmat Allah swt yang luar biasa, karena banyak orang yang saat ini menganggur dan bingung mencari kerja. Jika anda seorang istri yang selalu kelelahan dengan tugas rumah tangga dan tugas melayani suami yang tidak pernah habis. Sungguh itu nikmat luar biasa, karena betapa banyak wanita sedang menanti-nanti untuk menjadi seorang istri, namun jodoh tak kunjung hadir. Jika kita orang tua yang sangat lelah tiap hari, karena merawat dan mendidik anak-anak, sungguh itu nikmat yang luar biasa. Karena betapa banyak pasangan yang sedang menanti hadirnya buah hati, sementara Allah swt belum berkenan memberi amanah. Lelah dalam Mencari Nafkah Suatu ketika Nabi saw dan para sahabat melihat ada seorang laki-laki yang sangat rajin dan ulet dalam bekerja, seorang sahabat berkomentar: “Wahai Rasulullah, andai saja keuletannya itu dipergunakannya di jalan Allah.” Rasulullah saw menjawab: “Apabila dia keluar mencari rezeki karena anaknya yang masih kecil, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena kedua orang tuanya yang sudah renta, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena dirinya sendiri supaya terjaga harga dirinya, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena riya’ dan kesombongan, maka dia di jalan setan.” (Al-Mundziri, At-Targhîb wa At-Tarhîb). Sungguh penghargaan yang luar biasa kepada siapa pun yang lelah bekerja mencari nafkah. Islam memandang bahwa usaha mencukupi kebutuhan hidup di dunia juga memiliki dimensi akhirat. Bahkan secara khusus Rasulullah saw memberikan kabar gembira kepada siapa pun yang kelelahan dalam mencari rejeki. “Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan mencari rejeki pada siang harinya, maka pada malam itu ia diampuni dosanya oleh Allah swt.” Subhanallah, tidak ada yang sia-sia bagi seorang muslim, kecuali di dalamnya selalu ada keutamaan. Kelelahan dalam bekerja bisa mengantarkan meraih kebahagiaan dunia berupa harta, di sisi lain dia mendapatkan keutamaan akhirat dengan terhapusnya dosa-dosa. Syaratnya bekerja dan lelah. Bukankah ini bukti tak terbantahkan, bahwa kelelahan ternyata nikmat yang luar biasa? Kelelahan Mendidik Anak Di hari kiamat kelak, ada sepasang orangtua yang diberi dua pakaian (teramat indah) yang belum pernah dikenakan oleh penduduk bumi. Keduanya bingung dan bertanya: ”Dengan amalan apa kami bisa memperoleh pakaian seperti ini?” Dikatakan kepada mereka: “Dengan (kesabaran)mu dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anakmu.” Merawat dan mendidik anak untuk menjadi generasi shaleh/shalehah bukan urusan yang mudah. Betapa berat dan sangat melelahkan. Harta saja tidak cukup. Betapa banyak orang-orang kaya yang anaknya “gagal” karena mereka sibuk mencari harta, namun abai terhadap pendidikan anak. Mereka mengira dengan uang segalanya bisa diwujudkan. Namun, uang dibuat tidak berdaya saat anak-anak telah menjadi pendurhaka. Berbahagialah manusia yang selama ini merasakan kelelahan dan berhati-hatilah yang tidak mau berlelah-lelah. Segala sesuatu ada hitungannya di sisi Allah swt. Kebaikan yang besar mendapat keutamaan, kebaikan kecil tidak akan pernah terlupakan. Rasulullah saw bersabda: “Pahalamu sesuai dengan kadar lelahmu.”

Alhamdulillah

1. Menyadari telah terjadi de-orientasi mencari Allah 2. Kesulitan hidup telah mengaburkan rasa bersyukur kita mengenal Allah 3. Point utama bukan bagaimana menyelesaikan masalah kehidupan, namun rasa ridho kepada Allah 4. Bersyukur kita mengerti arti persaudaraan yang sesungguhnya 5. Teman seperjalanan (salik) adalah saudara yang sesungguhnya 6. Memahami QS.65:3 Dan memberinya rejeki dari arah yang tiada disangka -sangkanya... 7. Mengerti siapa sebenarnya orang-orang yang selama ini diakui sebagai saudara. 8. Kesulitan hidup bukanlah akhir dari segalanya namun batu loncat untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah 9. Melihat perkembangan rasa ketuhanan di dalam diri anak-anak. 10. Menyelesaikan masalah bukan fokus namun kedekatan kepada Allah adalah fokus utama

Monday, November 26, 2012

Tulang ekor

4440. Telah menceritakan kepada kami Amru bin Hafsh Telah menceritakan kepada kami Bapakku dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Al A'masy dia berkata; Aku mendengar Abu Shalih berkata; Aku mendengar Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Antara dua tiupan sangkakala terdapat empat puluh." Mereka bertanya: Hai Abu Hurairah? Empat puluh harikah? Abu Hurairah berkata: 'Aku enggan menjawab.' Mereka bertanya: Empat puluh tahunkah? Abu Hurairah berkata: Aku enggan menjawab. Mereka bertanya: 'Empat puluh bulankah? ' Abu Hurairah berkata: Aku enggan menjawab. Ia berkata: Tidak ada sesuatupu pun melainkan telah hancur kecuali satu tulang, yaitu tulang ekor. Dari situlah manusia disusun. Disalin dari Aplikasi Hadits Bukhari untuk Android. https://play.google.com/store/apps/details?id=id.web.mige.hadits4m

Thursday, July 26, 2012

BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI DALAM SISTEM PENDIDIKAN KITA

Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI) LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. ...Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum. BUDAYA MENGHUKUM Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya. “Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah. Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian. * Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal. Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda. MELAHIRKAN KEHEBATAN Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah. Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Wednesday, July 25, 2012

MENGOMPROMIKAN HISAB DAN RUKYAT

Agar tafakur kita tentang penetapan awal Ramadan ini menghasilkan hikmah yang bermanfaat untuk umat, saya ingin memberikan usulan yang bersifat kompromistis dalam tulisan kali ini. Bahwa, penetapan “awal bulan” Ramadan dan “awal puasa” Ramadan sebaiknya dimaknai secara terpisah. Bagaimana maksudnya? Sesungguhnyalah yang menyebabkan kebingungan umat dalam perbedaan ini adalah rancunya antara “awal bulan” dan “awal puasa”. Awal bulan adalah permulaan “bulan baru” yang ditandai oleh ijtima’ alias posisi segaris antara Bulan-Matahari-Bumi. Ini sebenarnya murni wilayah Astronomi alias ilmu Falak. Dimana kedua belah pihak yang berbeda memiliki kesepakatan yang sama. Bahkan sudah sama-sama pintarnya. Kesamaan itu terlihat dari kesepakatan: bulan Syakban berakhir pada hari Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Tidak ada perbedaan dalam hal ini. Kalaupun ada, hanya berbeda tipis, dalam hitungan menit saja. Bukan jam, atau apalagi hari. Artinya, sudah ada pijakan yang sama dalam mendekati permasalahan. Kenapa bisa demikian? Karena, kesimpulan ini memang dibuat berdasar pada fakta posisi Bulan. Bukankah bulan tidak pernah berbohong? Dan, kita bisa sama-sama mengeceknya di angkasa. Inilah universalnya Sains, dalam hal ini Astronomi. Dilihat oleh siapa pun, dan dihitung oleh siapa pun hasilnya kurang lebih sama. Bahkan, jika yang melihat bulan itu adalah seorang non muslim sekalipun. Bedanya hanya dalam orde menit, atau bahkan detik disebabkan oleh metode penghitungan saja. Perbedaan baru muncul, ketika mau menentukan kapan mulai berpuasa: Jum’at (20/7) ataukah Sabtu (21/7)? Sebenarnya ini sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan masuk wilayah Fikih. Wilayah Astronomi bersifat eksak, sedangkan wilayah Fikih bersifat lentur sesuai kondisi yang menyertainya. Dalam konteks penetapan awal Ramadan, fakta Astronomi yang eksak dan Fikih yang lentur itu jangan dicampur-adukkan. Karena, hasilnya akan sangat membingungkan. Bagaimana Anda tidak bingung membaca pengumuman ini, misalnya. “Semua lembaga yang berkompeten SEPAKAT bahwa bulan Syakban habis pada KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Dan karena hilal tidak kelihatan, maka diputuskan dan ditetapkan bahwa 1 Ramadan 1433 H jatuh pada hari SABTU, 21 Juli 2012.” Secara fakta Astronomi kesimpulan semacam ini tidak memperoleh pijakan. Karena, Syakban adalah bulan ke-8 dalam penanggalan Hijriyah, dan Ramadan adalah bulan ke-9. Mestinya, tidak ada jeda hari antara Syakban dan Ramadan. Begitu Syakban habis, langsung masuk ke Ramadan. Lha ini, Syakban berakhir pada hari Kamis, tapi awal Ramadan jatuh hari Sabtu. Tidak heran, sejumlah kawan langsung me-SMS saya. Mereka bertanya: ˜lho terus hari Jum’at itu ikut bulan Syakban, ataukah Ramadan, ataukah tidak punya Bulan, mas?” Logikanya memang menjadi “jumping”. Sangat sulit mencernanya. Apalagi ini wilayah ilmu Astronomi yang eksak, bisa langsung dicek ke angkasa. Logikanya, jika Kamis siang itu bulan Syakban sudah habis, sesaat kemudian sudah masuk bulan Ramadan. Jadi, bulan sabit yang kita rukyat pada Kamis sore itu sebenarnya adalah “hilal Ramadan”. Namun, karena usianya masih 6 jam, maka hampir bisa dipastikan hilal itu sulit dilihat oleh mata telanjang. Ya, memang demikian. Semua pihak yang berbeda pendapat pun pasti paham, bahwa hilal seumur 6 jam tidak mungkin terlihat. Sampai disini, semua sepakat. Nah, perbedaan itu mulai muncul saat menentukan “awal puasa”. Ini sebenarnya sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan wilayah ilmu Fikih. Yang jika rujukan kondisinya berbeda, hasilnya bisa berbeda pula. Di wilayah Fikih inilah kita bisa memahami, ketika salah satu pihak memutuskan berpuasa di hari Jum’at, dan lainnya di hari Sabtu. Bagi yang berpedoman pada wujudul hilal, memutuskan permulaan puasanya Jum’at. Sedangkan bagi yang menganut ru’yatul hilal, memutuskan berpuasa Sabtu. Tidak ada masalah, karena rujukan Fikihnya sama-sama sahih. Dengan demikian, pengumuman hasil isbat itu memiliki argumentasi Astronomi dan Fikih yang kuat dan tegas, sehingga umat tidak bingung dibuatnya. Jika diumumkan ke masyarakat luas, barangkali redaksinya menjadi begini: “Sesuai dengan hasil perhitungan dan rukyat dari berbagai lembaga yang berkompeten, bulan Syakban sudah berakhir hari KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Karena itu, Kamis sore ini bulan Ramadan sudah datang. Tetapi, karena ketinggian hilal masih sangat rendah, maka tidak ada yang berhasil merukyatnya. Oleh sebab itu, berdasar pada sunnah Nabi, pemerintah memutuskan dan menetapkan puasa Ramadan dimulai SABTU, 21 Juli 2012 “ Clear. Secara Astronomi valid, dan secara fikih sah. Bahwa, lantas ada yang berbeda pendapat dengan pemerintah, dan memulai puasanya di hari Jum’at misalnya, tidak masalah. Sangat bisa dipahami, karena rujukan fikihnya juga jelas. Yakni, barangsiapa menyaksikan hadirnya bulan Ramadan hendaklah dia berpuasa QS. 2: 185. Astronomically, Jum’at itu memang sudah masuk 1 Ramadan 1433 H. Dengan demikian, meskipun belum bisa sepakat bulat, setidak-tidaknya benang kusutnya sudah mulai terurai. Dan sudah memperoleh titik temu. Lebih bagus lagi jika urusan Astronomi, diserahkan saja ke LAPAN atau BOSCHA. Sedangkan urusan fikih dipisah, diserahkan kepada MUI. Dan menteri agama hanya tinggal membacakan kedua fatwa itu kepada masyarakat luas. Mudah-mudahan di tahun depan kita sudah bisa memperoleh solusi lebih baik. Karena, sungguh kita sudah sangat merindukan kebersamaan ini. Betapa indahnya, jika Ramadan dan Idul Fitri bisa bersama-sama dengan sahabat dan handai tolan..! Wallahu a’lam bishshawab. * Dicopas dari blog AGUS MUSTOFA. * Catatan ini juga diterbitkan di koran Jawa Pos, dan koran anak-anak perusahaannya edisi 24 Juli 2012

Monday, June 11, 2012

Mereka menjelekkan kita

Dari Rita Nurmala Mereka menjelek-jelekkan kita.......? “Ketika merasa tersanjung, amatilah siapa yang tersanjung itu; ketika merasa dicela, amatilah siapa yang dicela itu. Amatilah bagaimana ia bereaksi terhadap semua itu.” Demikian suatu ketika seorang Guru menasehati. Suatu siang seorang siswa datang melapor. Ia tampak diselimuti kejengkelan yang amat sangat. “Mereka menjelek-jelekkan kita Guru ... mereka menjelek-jelekkan perguruan kita”, lapornya. “Tenangkan dirimu anakku ...”, kata Gurunya kalem seperti biasanya. “Mandi, keramas, dan makanlah satu atau dua buah pisang dan minum secukupnya. Nanti kita bicarakan soal ini”, tambah Gurunya. Sorenya, Sang Guru memanggil siswa tadi dan menanyakan kembali, apa yang hendak ia laporkan. Ia kini sudah jauh lebih tenang dari siang tadi; bahkan ... tampak kalau apa yang mencekam benaknya tadi, tak hadir lagi. Tanpa ditanya, iapun hanya berkata: “Guru benar ... apa yang mereka sangka sebagai kita hanyalah citra bentukan mereka sendiri. Mereka menjelek-jelekkan citra bentukan mereka sendiri.” Mendengar itu, Gurunya, siswa itu dan siswa-siswa lain yang hadir disitupun berderai tawa. Dengan memahami dan memaklumi apa yang sebenarnya terjadi, hal yang paling tidak mengenakkan sekalipun bisa menghadirkan pemahaman dan tawa lepas...

Penanam Duri

Suatu ketika, Maulana Jalaluddin Rumi bercerita tentang seorang penduduk kota yang punya kebiasaan aneh, yaitu, suka menanam duri di tepi jalan. Ia menanami duri itu setiap hari sehingga tanaman berduri itu tumbuh besar. Mula-mula orang tidak merasa terganggu dengan duri itu. Mereka mulai protes ketika duri itu mulai bercabang dan menyempitkan jalan orang yang melewatinya. Hampir setiap orang pernah tertusuk durinya. Yang menarik, bukan orang lain saja yang terkena tusukan itu, si penanamnya pun berulang kali tertusuk duri dari tanaman yang ia pelihara. Petugas kota lalu datang dan meminta agar orang itu menyingkirkan tanaman berduri itu dari jalan. Orang itu enggan untuk menebangnya. Tapi akhirnya setelah perdebatan yang panjang, orang itu berjanji untuk menyingkirkannya keesokan harinya. Ternyata di hari berikutnya, ia menangguhkan pekerjaannya itu. Demikian pula hari berikutnya. Hal itu terus menerus terjadi, sehingga akhirnya, orang itu sudah amat tua dan tanaman berduri itu kini telah menjadi pohon yang amat kokoh. Orang itu tak sanggup lagi untuk mencabut pohon berduri yang ia tanam. Lalu di akhir cerita, Rumi berkata: "Kalian, hai hamba-hamba yang malang, adalah penanam-penanam duri. Tanaman berduri itu adalah kebiasaan-kebiasaan buruk kalian, perilaku tercela yang selalu kalian pelihara dan sirami. Karena perilaku buruk itu, sudah banyak orang yang menjadi korban dan korban yang paling menderita adalah kalian sendiri. Karena itu, jangan tangguhkan untuk memotong duri-duri itu. Ambillah sekarang kapak dan tebang duri-duri itu supaya orang bisa melanjutkan perjalanannya tanpa terganggu oleh kamu."

Sunday, May 15, 2011

Ibnu 'Arabi: Wasiat seorang bijak kepada anak-anaknya menjelang kematiannya

Seorang bijak berwasiat kepada anak-anaknya menjelang wafatnya. Mereka adalah satu jama’ah. Ia berkata kepada anak-anaknya, “Bawakan kepadaku beberapa buah tongkat!” Ia kemudian menghimpun tongkat-tongkat itu dan berkata kepada mereka, “Patahkanlah!” Mereka tak mampu mematahkannya. Kemudian ia memisahkannya dan berkata kepada mereka, “Ambil satu persatu dan patahkan!” Merekapun sanggup mematahkannya. Ia pun berkata, “Begitulah keadaan kamu sekalian sepeninggalku. Kamu tidak akan mudah dikuasai dan dikalahkan selama kamu bersatu. Akan tetapi, jika kamu bercerai-berai, maka musuhmu akan mampu membinasakanmu.” Demikianlah hukum-hukum agama itu. Jika mereka bersatu menegakkan agama dan tidak bercerai-berai, maka musuh tidak akan mampu menguasai dan mengalahkan mereka. Seperti itu pulalah keadaan manusia dalam dirinya sendiri. Jika ia bersatu untuk menegakkan agama ALLAH, maka dengan pertolongan iman, setan dari golongan jin dan manusia tidak akan dapat menguasainya dan mengalahkannya melalui bisikannya. Para malaikatpun akan mengelilingi dan menolongnya.

Saturday, March 05, 2011

Sirr Al Asrar: Kaitan antara Ruh, Jiwa dan Misi Hidup.

Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahiim

Dalam Kitab Sir Al Asrar bab dua, Syaikh Abdul Qadir Jailani menjelaskan kaitan antara Ruh, Jiwa dan Misi Hidup.

Syaikh Abdul Qadir Jailani menulis bahwa yg pertama yg diciptakan adalah Ruh dari sisi Allah Ta'ala. Lalu Ruh itu nanti "diturunkan" ke jiwa, lalu akhirnya "diturunkan" ke jasad. Gabungan antara Ruh, Jiwa dan Jasad dalam Al Quran disebut sebagai "Insan". Proses penciptaan dan penurunan ini, yg menurut Syaikh Abdul Qadir Jailani dipahami dr maksud ayat:

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan INSAN dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami turunkan ia ke tempat yang serendah-rendahnya (asfala safilin)" [QS 94:4-5]

Pemahaman ini nanti juga erat kaitannya dengan kaidah Martabat Tujuh yg terkenal di penerus mahzab Ibn Arabi --salah satunya adalah Al Jilli penulis kitab Insan Kamil, Al Jilli sendiri adalah pengikut thariqah Qadariyah yg dipelopori Syaikh Abdul Qadir Jailani sendiri

Awalnya Ruh diturunkan melewati alam Nur atau Haqiqah Muhammadiyah yg didalamnya terkumpulnya Asmaul Husna, atau yg biasanya disebut Martabat Wahdaniyah dalam Martabat Tujuh. Setelah Martabat Wahdaniyah, "turun" kebawah ada martabat Wahidah dalam konsep Martabat tujuh, dimana di dalamnya ada Alam Nafs Al Kull (Jiwa Keseluruhan, atau Nafs Wahidah yg tertulis dalm QS 4:1) dan juga Alam 'Aql Al Kull ('Aql Awwal Keseluruhan) yg berada bersamaan dengan Alam Nafs Al Kull tsb.

Lalu Ruh turun melewati alam malakut, disitu --menurut Syaikh Abdul Qadir Jailani-- Ruh di berikan "pakaian-pakaian" atau perangkat-perangkatnya yg terbuat dari Nur (cahaya ilahiyah), jadilah nafs (jiwa), yg di dalamnya ada Ruh. Disinilah Ruh kemudian menjadi Nafs (Jiwa) Sulthan, dan kemudian Jiwa Aktif untuk dihidupan (oleh Ruh) ke dalam alam jasad berikutnya

Kemudian jiwa --beserta Ar Ruh di dalamnya-- dimasukkan ke dalam jasad di alam mulk (alam korporeal, alam materi). Syaikh Abdul Qadir Jailani menuliskan bahwa jasad adalah rumah bagi jiwa, seperti sarung keris bagi kerisnya. Beliau jg melanjutkan bahwa setiap jiwa punya nama panggilan yg berbeda-beda, alias ada yg disebut sebagai "nama-jiwa".

Syaikh Abdul Qadir Jailani jg menuliskan, di dalam Ruh asalnya sudah terdapat benih, yg harus ditumbuhkan menjadi pohon takwa, atau "syajaratun thayyibah" dalam Al Qur'an. Di dalam benih tentu ada bakal akar, bakal pohon, bakal bakal daun dan bakal buah yg semuanya menyatu di dalam benih, oleh karena itu Syaikh Abdul Qadir Jailani menamakan benih ini sebagai benih tauhid (tauhid juga berarti menyepadu). Benih ini harus ditumbuhkan menjadi "syajaratun thayybah" dalam perjalanan suluk: ada akarnya, ada batangnya, ada daunnya, dan tentu ada buahnya.

"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya" [QS 14:24-25]

Syaikh Abdul Qadir Jailani jg menuliskan bahwa tempat ruh didalam jiwa ini terletak di dalam inti Qalb. Disanalah Allah menciptakan sebuah ruang yg dalam QS 24:35 disebut sebagai Zaujajah, Imam Hakim Tirmidzi mengatakan bahwa yg dimaksud Zaujajah ini adalah bola kaca Qalb yg bening. Di dalam ruang Zaujajah inilah, Syaikh Abdul Qadir Jailani menuliskan akan adanya Sirr (arti literalnya: rahasia) yg didalamnya terdapat Ruh, yang menjadi poros hubungan langsung antara Allah dan hamba-Nya, aktifnya Ruh di dalam Sirr-nya Qalb ini yg dalam Quran nanti disebut Ruh Al Quds.

“…mereka itulah yang telah dituliskan (kataba) dalam Qalbnya Al Iman dan mereka dikuatkan dengan Ruh dari Sisi-Nya (Ruhul Quds)." [QS 58 : 22]

Lebih lanjut Syaikh Abdul Qadir AL Jailani menyebutkan bahwa Ruh dalam Sirr-nya Qalb ini nanti akan menyampaikan tugas dan urusan yg berbeda-beda antar tiap orang. Setiap orang harus mengetahui tugas dan tujuan penciptaannya di alam ini. Inilah yg dimaksud sebagai "misi hidup" khusus dan unik tiap orang. Dalam menjalankan amal-amal shalih yg tertuang dalam "misi hidup" ini, Syaikh Abdul Qadir Jailani mengumpamakannya seperti berjual beli yg tiada merugi dengan Allah Ta'ala (QS 35:29). Dimana mengenai ketetapan amal-amal shalih dalam "misi hidup" itu, Syaikh Abdul Qadir Jailani mengutip ayat:

"Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya seperti (tetapnya) kalung pada lehernya." (QS 17:31).

by Rezha Rochadi on Monday, June 7, 2010 at 6:08pm

Diatas disinggung2 soal martabat 7, berikut urutan martabat 7 tsb:

1. Ahadiyah (Alamnya Dzat Allah Ta'ala yg Ghaibul Ghaib Mutlaq)

2. Wahdaniyah (Nur Muhammadiyah, istilah Wahdatul Wujud diambil dr kata "Wahdah" ini, di dalamnya termanifestasi sempura/tajalli asma-asma Allah atau asmaul Husna. Dari Nur Muhammadiyah inilah embrio seluruh alam semesta --baik lahir maupun bathin-- tercipta.)

3. Wahidiyah (diambil dr istilah Nafs Wahidah yg tertulis dalam QS 4:1, para sufi menyebutnya sebagai Nafs Al Kull atau Jiwa Univesal, setiap nafs manusia diambil 'sebagian' dari bagian tertentu dari Nafs Al Kull ini)

Dari Martabat 1-3 sifatnya Qadim

4. Alam Jabarut (Alam ar-Ruh Insan)

5. Alam Malakut (Alamnya nafs Insan)

6. Alam Mulk (Alam Jasadnya Insan)

Dari Martabat 4-6 sifatnya muhdats (terbarukan atau terciptakan dalam waktu)

Gabungan 4-6 yg sempurna dalam diri manusia menghasilkan martabat selanjutnya:

7. Insan Kamil (Yang secara totalitas sudah sempurna ketaatan ubudiyah Jasadnya atas Syariat Lahir di Alam Mulk, sempurna Nafsnya di ALam Malakut, dan sudah terbimbing sempurna secara langsung oleh Ruh Al Quds dari Alam Jabarut. Insan Kamil inilah yg disebut Khalifah fil Ardh sejatinya)

‎[TAMBAHAN] Proses kosmologi penciptaan alam semesta menurut Hadist Rasulullah yg diberikan ke Imam Ali ra.

Dzat ALlah menciptakan Nur-Nya sendiri. Dari Nur-Nya sendiri ini diciptakan Nur Muhammadiyah.

Dari Nur Muhammadiyah di ciptakan 4 bagian :

1. Qalam
2. Lauhul Mahfudz
3. Arsy
4. Dari bagian se-perempat terakhir ini diciptakan lagi 4 sub-bagian

4.1. Malaikat2 Pemikul Arsy
4.2. Kursy (yang menyangga Arsy)
4.3 Seluruh malaikat2 lain
4.4 Dari bagian se-perempat terakhir ini diciptakan lagi 4 sub-bagian:

4.4.1. Langit (sebanyak tujuh lapis)
4.4.2. Al-Ardh (bumi-bumi)
4.4.3 Jin dan api
4.4.4. Dari bagian se-perempat terakhir ini diciptakan lagi 4 sub-bagian:

4.4.4.1. Seluruh nur Iman untuk para Mu'minin
4.4.4.2. Nur Ilmu di dalam Qalb
4.4.4.3. Nur Shiddiqien (RQ?)
4.4.4.4 Cahaya2 lain di alam dunia.

Bisa dilihat ada 4 level turunan yg setiap level terpecah menjadi 4 bagian.