silakan menikmati

Blog ini saya gunakan untuk menyimpan tulisan-tulisan saya sendiri dan juga tulisan-tulisan lain yang inspiratif.
Jangan sungkan untuk berkomentar.

Thursday, November 11, 2010

Teologi Mistis Al-Ghazali (II - selesai))

Saleh Rahmana


Konsepsi Teologis Al-Ghazali Tentang Tuhan

Meskipun kritikannya terhadap Ilmu Kalam dan para teolog cukup keras, hal ini tidak berarti bahwa beliau tidak memiliki konsepsi-konsepsinya sendiri mengenai persoalan-persoalan teologis. Al-Ghazali sendiri adalah sosok tokoh yang menguasai berbagai disiplin keilmuan. Pendalamannya akan berbagai disiplin keilmuan yang hidup pada masanya—fiqh, Ilmu Kalam, filsafat, tashawwuf—memungkinkan dirinya untuk tidak hanya menjadi fuqaha saja, melainkan juga teolog, filosof, dan shufi sekaligus. Ia adalah teolog ulung yang tercatat ikut andil dalam membesarkan aliran teologi Asy’ariyah. Berikut ini adalah beberapa konsepsi teologis Al-Ghazali:

Ketunggalan dan Transendensi Tuhan

Dalam bagian ini ini penulis ingin mencoba mengemukakan konsepsi Al-Ghazali tentang salah satu tema persoalan teologis, yakni tentang Tuhan, yang bangunannya tampak sejalan dengan pandangannya tentang hierarki fakultas epistemologis dan ontologis. Sebagaimana konsepsi-konsepsi ketuhanan lainnya pada abad pertengahan, konsepsi Al-Ghazali disusun dalam kerangka menegaskan kedaulatan Tuhan dengan segala atribut ke-Maha-an-Nya, terutama sekali atribut ketunggalan dan transendensi atau ketidak-terjangkauaan-Nya oleh pemahaman makhluk-Nya. “Sosok” Tuhan seperti itu, misalnya, ditunjukkan Al-Ghazali dengan mengemukakan makna tiga nama Tuhan: Wahid, Ahad, dan al-Shamad.

Dengan asma Wahid, Al-Ghazali memaksudkan bahwa Tuhan adalah satu dari segi jumlah, sehingga tidak ada sekutu yang menyertai-Nya. Sementara asma Ahad menunjuk pada kesederhanaan Tuhan yang tidak tersusun dari bagian-bagian seperti sebuah struktur. Dalam hal ini, jika Ahad-Nya Tuhan menyangkal sekutu dan kesamaan, maka dengan Ahad pula Dia menyangkal keragaman dalam dalam Esensi-Nya. Dari sini Tuhan dikatakan al-Shamad, yakni Esensi yang independen yang dibutuhkan segala sesuatu. Dengan asma al-Shamad-Nya, Tuhan mempertegas ke-Wahid-an-Nya, yakni bahwa Dia adalah benar-benar Tunggal dan tidak-berbilang sebab jika Dia memiliki sekutu maka Dia tidak lagi Independen (al-Shamad).

Al-Shamad juga mempertegas posisi Tuhan sebagai Ahad, yakni bahwa ketidak-tersusunan-Nya dari bagian-bagian menunjukkan tidak adanya hubungan kesaling-membutuhkan antara Tuhan dan bagian-bagian. Kesaling-membutuhkan berarti ketiadaan independensi pada salah satu dari keduanya. Wujud Tuhan tidak pernah berhenti mengada sejak azali dan akan terus abadi, tanpa melalui regenerasi. Inilah makna dari “Dia tidak diperanakkan.”55 Hal ini menunjukkan bahwa wujud Tuhan tidak terjadi setelah ketiadaan.

Dengan nada yang sama, konsepsi ketuhanan Al-Ghazali yang seperti ini ditemukan juga dalam rumusan filosofisnya tentang wajib al-wujud atau Wujud Niscaya. Wujud Niscaya (Wajib al-Wujud) merupakan suatu istilah wacana filosofis yang dalam wacana Ilmu Kalam memiliki rujukan yang sama dengan istilah Dzat (Esensi). Pembicaraan teologis tentang Dzat seringkali tidak terlepas dari pembicaraan mengenai sifat-sifat Tuhan yang padanan istilah filosofisnya adalah aksiden (atau yang-mungkin, yang-boleh, pengikut, akibat dan lain-lain).56

Pertanyaan bagaimana hubungan antara Esensi (Wujud Niscaya) dan sifat-sifat (aksiden) tersebut merupakan persoalan yang biasa didiskusikan dalam diskursus Ilmu Kalam dan filsafat, misalnya apakah keduanya terjalin dalam hubungan ketidak-bergantungan satu sama lainnya; kesaling-bergantungan timbal balik; atau hubungan ketergantungan sifat-sifat terhadap Esensi?57 Alternatif yang terakhir, menurut Al-Ghazali, dapat dijadikan pilihan.58 Akan tetapi persoalannya adalah, apakah hubungan tersebut tidak berarti bahwa keberadaan Esensi disebabkan reseptifitas-Nya terhadap ketergantungan sifat-sifat (aksiden-aksiden)—dalam arti bahwa jika tidak ada sifat-sifat (aksiden-aksiden) maka Esensi sendiri menjadi tidak ada.59 Jika demikian persoalannya maka Wujud-Niscaya tersebut tidak lagi dapat disebut Niscaya—yakni Wujud yang mengada melalui Diri-Nya Sendiri tanpa sebab eksternal diluar Diri-Nya—baik itu sebab efisien maupun sebab reseptif—karena Ia menjadi akibat dari sebab di luar Diri-Nya.

Menurut Al-Ghazali, penjelasan tentang hubungan ketergantungan sifat terhadap Esensi tidak bisa dipahami seperti itu. Wujud Niscaya, menurutnya, mesti dipahami sebagai merujuk kepada batas akhir dari rangkaian sebab-akibat, karena inilah yang secara rasional dapat diterima dan dibuktikan. Rangkaian sebab-akibat dapat diakhiri dengan Yang-Satu—apakah ia disebut Wujud Niscaya atau yang lainnya—yang, didalam Esensi-Nya, memiliki sifat-sifat abadi, dan yang sifat maupun esensi-Nya terbebas dari sebab efisien.60 Al-Ghazali nampaknya memaksudkan bahwa Esensi Tuhan yang menjadi batas akhir rangkaian sebab-akibat ini bukanlah sebab-sebab reseptif yang menerima ketergantungan sifat-sifat, karena keberadaan sebab-sebab reseptif menuntut keberadaan sifat-sifat sebagai akibat sehingga baik sebab-sebab reseptif maupun sifat-sifat yang berketergantungan tersebut akan membentuk rangkaian sebab-akibat yang tak terbatas. Ketakterbatasan rangkaian sebab-akibat dimungkinkan dengan asumsi bahwa dibelakang sebab-reseptif terdapat sebab-sebab lainnya yang tak terbatas, yang bersifat reseptif terhadap sebab-sebab reseptif yang disebabkannya. “Rangkaian sebab-sebab reseptif mesti berakhir di Esensi [Yang-Satu; Wujud Wajib] ini,”61 dan sifat-sifat yang berketergantungan kepadanya tidak lagi menjadi akibat dari sebab-sebab reseptif tersebut. Dalam hal ini “Jika Wujud Niscaya dimaksudkan sebagai wujud yang tidak disebabkan dan yang bersifat reseptif terhadap sifat-sifat yang berketergantungan kepada-Nya, maka sifat-sifat tersebut bukanlah sifat-sifat yang memiliki sifat kekal sebagaimana Wujud Niscaya.”62

Demikian pula Esensi Tuhan [Wujud Niscaya] tidak dapat dipahami sebagai sebab-sebab efisien dari sifat-sifat, jika sebab-sebab efisien tersebut dipahami sebagai esensi bagi sifat-sifat yang mengikuti dan yang diakibatkannya. Pemahaman tentang sebab-sebab efisien seperti ini mengimplikasikan bahwa suatu aksiden (sifat-sifat) dapat mengada pada dirinya sendiri, dan ini tidak mungkin. Suatu aksiden dapat ditemukan dan dipahami keberadaannya apabila ada suatu substratum yang dilekatinya. Dan jika esensi (sebab efisien) sifat-sifat itu dipahami sebagai subsratum ini maka ia dapat dipakai untuk merujuk Esensi Tuhan.63 Dalam hubungannya dengan selain Tuhan, paduan esensi-aksiden atau sebab-akibat tersebut (misalnya, aksiden pengetahuan dengan esensi manusia) akan berarti suatu rangkaian tak terbatas sebagaimana halnya dengan sebab-sebab reseptif. Ini berarti bahwa jika esensi tersebut dimaksudkan sebagai Esensi Tuhan maka ia berarti suatu batas akhir rangkaian sebab-akibat, yakni Wujud Niscaya. Dan, sebagaimana sebab-sebab reseptif, “Pada Esensi Tuhan itulah, rangkaian sebab-sebab efisien dari sifat-sifat berakhir,” dan di sini “sebagaimana Esensi Wujud Niscaya kekal dan tak-bergantung pada suatu sebab efisien, maka demikian pula sifat-sifat-Nya kekal dan tak-bergantung pada suatu sebab efisien.”64

Secara rasional, menurut Al-Ghazali, mesti ada batas akhir rangkaian sebab-akibat, dan batas inilah yang dirujuknya sebagai Wujud Niscaya. Jika Wujud Niscaya dipahami tidak dengan cara ini maka hal itu tidak bisa diterima sebagai Wujud Niscaya. “Pengakuan terhadap ide wujud abadi (eternal) berarti pengakuan terhadap ide pemilik abadi (eternal) sifat-sifat yang baik sifat maupun esensinya semuanya tidak disebabkan.”65

Keterpaduan antara Esensi-Aksiden (Dzat dan Sihat-sifat)-Nya tidak bisa diartikan sebagai indikasi adanya kebutuhan inheren dari Esensi kepada Aksiden. Kesempurnaan Esensi tidak dapat dilepaskan dari sifat-sifat sempurna sebagaimana selayaknya untuk Dia Yang Mahasempurna. Eksistensi nyata kesempurnaan Esensi-Nya yang tidak membutuhkan apapun adalah eksistensi nyata kesempurnaan sifat-sifat-Nya yang mensucikan Esensi dari semua kebutuhan. Dan dengan Sifat-sifat-Nya yang sempurna itulah Ketuhanan merealisasikan diri.66 Dengan Sifat-sifat itulah Esensi memperkenalkan Diri-Nya sebagai Ilah, Rabb, Pencipta dan nama-nama lainnya yang diseru oleh ma’luh, marbub, makhluk dan nama lainnya yang sepadan dengan nama-nama yang diperkenalkan-Nya.

Dalam hal ini baik “Esensi, sifat-sifat, dan subsistensi sifat-sifat tersebut pada Esensi-Nya, semuanya tidak disebabkan, dan masing-masing mengada sejak azali (abadi tanpa permulaan) hingga abadi.”67 Sehingga kesemuanya itu tidak perlu dipahami sebagai suatu komposisi yang, sebagaimana komposisi tubuh, menuntut adanya pencipta-Nya.68

Memahami Sifat-Sifat Tasybih Tuhan

Dalam kaitannya dengan konsepsi ketunggalan dan transendensi Tuhan, persoalan yang muncul dalam wacana Ilmu Kalam, Teologi atau Filsafat Ketuhanan dalam Islam adalah menyangkut sifat-sifat tasybih atau antropomorfis––sifat yang dimiliki bersama oleh Tuhan dan makhluk-Nya seperti tangan, mata dan lain-lain––yang seringkali muncul dalam berita-berita kewahyuan, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi. Persoalannya adalah bagaimana doktrin transendensi atau ketidak-dapat-diserupainya Tuhan tidak rusak oleh adanya beita-berita tasybih tersebut.

Berkenaan dengan berita-berita tasybih tersebut, Al-Ghazali mengusulkan pena’wilan sebagai hal yang tidak bisa dihindari, mengingat muatan-muatan pengertiannya yang tidak mungkin dimengerti secara literal. Hanya mereka yang kelewatan dungu dan masa bodohlah, menurutnya, yang dapat mengatakan bahwa Allah memiliki tangan dalam pengertian literal kata tersebut.69 Dalam hal ini, ta‘wil dipahami Al-Ghazali sebagai pemalingan suau lafaz dari pengertian literalnya sehingga sampai pada kejelasan makna lainnya yang tidak literal dari lafaz tersebut.70

Namun demikian kegiatan ta‘wil, menurut Al-Ghazali, sering kali tidak jelas disebabkan karena ketidakjelasan wujud yang menjadi rujukan makna lafaz-lafaz yang dita‘wilkan. Dalam Faishat al-Tafriqah-nya, kejelasan atau ketidakjelasan dari suatu makna yang dita‘wilkan tersebut dikaitkan dengan kejelasan atau ketidakjelasan rujukannya pada salah satu dari lima tingkatan wujud yang telah kita sebutkan. Ketidakjelasan tentang tingkatan-tingkatan wujud tersebut dapat menyebabkan ketidakjelasan pena’wilan atas berita-berita tasybih menyangkut tingkatan wujud yang dirujuk berita-berita tersebut.71

Keniscayaan adanya ta‘wil, tidak berarti bahwa ia dapat dilakukan secara sembarangan. Kegiatan ta‘wil dilakukan untuk menemukan pengertian yang mungkin pada suatu tingkatan wujud yang lebih kemudian ketika ditemukan ketidakmungkinan pengambilan pengertian pada tingkatan wujud sebelumnya. Karenanya, ta‘wil harus dilakukan setelahnya ditemukan kesulitan-kesulitan untuk mengambil makna lahiriah, yakni, makna esensial yang terdapat pada tingkat wujud hakiki. Kemudian melaju untuk menemukan kemungkinan makna ta‘wil pada tingkat berikunya jika tidak ada kemungkinan pada tingkatan wujud kedua. Dan demikian seterusnya.72

Dalam wacana Ilmu Kalam, contoh lafaz-lafaz ‘Arsy, Kursiy, tujuh-tingkat lapis langit dan lain-lain yang merujuk pada tingkatan wujud pertama, wujud hakiki, tidak perlu dita‘wilkan dan dapat dimengerti dalam pengertian literal kata tersebut.73 Berkenaan dengan lafaz tasybih seperti yad (tangan) Al-Ghazali membedakan dua macam makna atau realitas yang dirujuknya. Pertama, makna jisim, yakni pernyataan tentang suatu ukuran yang memiliki panjang, lebar dan volume. Di sini kata tangan berarti anggota badan yang tersusun dari daging, tulang, dan otot dan sifat-sifat jisim lainnya. Kedua, makna yang sama sekali tidak berhubungan dengan suatu pernyataan tentang gambaran jisim. Kata tangan dalam pernyataan “negeri itu berada di tangan penguasa,” misalnya tidak perlu dipahami dalam pengertian jisim anggota tubuh. Pernyataan semacam itu dapat dimengerti kendatipun, misalnya, organ tangan sang penguasa itu terpotong.74

Al-Ghazali menyangkal makna tangan yang pertama untuk diterapkan dalam wacana ketuhanan sebab hal ini dapat mengantarkan seseorang pada pemberhalaan, yakni penggambaran Tuhan sebagai jisim yang tersusun dari anggota-anggota tubuh seperti dirinya. Penyembahan terhadap gambaran Tuhan seperti itu tidak lebih dari penyembahan terhadap patung atau makhluk lain seperti dirinya. Setiap (gambaran) jisim adalah makhluk dan penyembahan kepada makhluk adalah kekafiran.75 Dari sini kita melihat, bahwa penyangkalan terhadap rujukan jisim makna tangan––yang dalam hierarki wujud Al-Ghazali nampak berada pada tingkatan wujud pertama––secara implisit adalah juga penyangkalan terhadap rujukan wujud inderawi-empirisnya yang menjadi turunan tingkatan wujud pertama tersebut.

Agar dapat menghindari bahaya pemberhalaan tersebut, Al-Ghazali menyarankan untuk memahami pengertian lafaz tasybih seperti itu secara ijmali. Yakni, menangkap makna lafaz dengan cara mengabaikan rincian-rincian (tafsil) pengertian lafaz tersebut.76 Dengan kata lain, Al-Ghazali nampaknya bermaksud mengatakan bahwa penangkapan pengertian ijmali seperti ini dimaksudkan untuk menghindarkan perujukan lafaz-lafaz tasybih yang memiliki banyak kemungkinan makna itu kepada makna referen tertentu. Dalam kerangka hierarki wujudnya, rujukan makna ijmali lafaz ini nampaknya adalah wujud tak-berbentuk (aqli).

Langkah pena’wilan ijmali ini dmaksudkan Al-Ghazali untuk memungkinkan orang-orang awam tetap mengimani dan membenarkan informasi ketuhanan yang terkandung dalam lafaz tasybih secara apa adanya, sambil tetap menyucikan transendensi-Nya. Misalnya, perkataan “di rumah ada hewan” cukup untuk memberikan informasi apa adanya, dan dapat dibenarkan tanpa harus mengetahui apakah hewan itu sapi, kuda atau yang lainnya. Begitu juga dengan pernyataan ayat Al-Qur’an bahwa “Tuhan duduk di atas ‘Arsy”, kita dapat memahami adanya hubungan tertentu antara Tuhan dengan ‘Arsy, dan membenarkannya tanpa mengetahui sebelumnya bahwa hubungan tersebut memiliki pengertian kemenetapan Tuhan di atas ‘Arsy, atau kedekatan dengan ciptaanNya, atau penguasaan atasnya secara paksa atau makna lainnya yang berkaitan.77

Mengenai makna ta‘wilan suatu lafaz tasybih yang rujukan realitasnya berada di tingkat wujud inderawi-nonempiris (immaterial-spiritual), Al-Ghazali nampaknya mengatakan—sebagaimana implisit dalam penjelasan di atas tentang nubuwwah—bahwa hal itu hanya ada dalam wilayah pengalaman orang-orang yang kemampuan dzauq-nya telah teraktualkan––seperti para nabi, wali, shufi, dan rasyikh (orang yang memiliki pengetahuan mendalam). Dalam tingkatan wujud ini Tuhan dapat muncul dalam penglihatan inderawi atau imajinatif mereka. Hanya saja, seperti telah dijelaskan, Tuhan yang terlihat dalam visi-mimpi (ru’yah) ini bukanlah Dia dalam posisinya sebagai Dzat atau Esensi-Nya, melainkan sebagai perumpamaan-Nya (mitsal). Al-Ghazali mengingatkan kita untuk tidak mencampur-adukkan ‘perumpamaan’ dan ‘penyamaan’. Perumpamaan mengimplikasikan penjelasan dan ini dibolehkan. Sementara penyamaan mengimplikasikan penyerupaan dan ini dipandang sebagai bathil. Dari sini, penglihatan akan perumpamaan Tuhan tidak batal dengan keberatan bahwa Tuhan tidak memiliki keserupaan, sebab perumpamaan bukanlah pernyatataan tentang penyerupaan atau kesamaan.dan tidak membutuhkan adanya kesamaan atau keserupan antara objek yang diumpamakan dan perumpamaannya.78

Dalam pemahaman seperti inilah hadits Nabi, ”Aku melihat Tuhanku dalam bentuk yang terindah,” harus dipahami. Gagasan tentang “bentuk Tuhan” dalam hadits tersebut sejalan dengan hadits, “Sesungguhnya Allah menciptaan Adam menurut bentuk-Nya” di mana bentuk di sini berarti perumpamaan. Ungkapan-ungkapan lain yang serupa ungkapan Nabi itu tidak mesti membuat seseorang terdelusikan untuk memahaminya secara kasar bahwa Tuhan dapat dilihat dalam Dzat-Nya sendiri. Ketika banyak pihak sepakat bahwa hanya perumpamaan Tuhan yang dapat dilihat, dan bukan Dzat-Nya, sebagaimana terjadi di kalangan ulama-ulama salaf, maka tidak ada persoalan bagi kita untuk mengemukakan ungkapan-ungkapan semacam “Kami mencintai Allah, merindukan-Nya, dan ingin bertemu dengan-Nya”, sebab hal itu tidak akan menimbulkan kekaburan pada diri pendengar. Namun demikian, kata Al-Ghazali, jika hal itu dapat menimbulkan khayalan-khayalan yang keliru tentang maknanya (delusi) bagi pendengar, maka ungkapan-ungkapan semacam itu tidak boleh dikemukakan kepadannya tanpa memberikan penafsiran-penafsiran yang dapat mengatasi kekeliruannya itu.

Uraian ini, tegas Al-Ghazali, ditujukan untuk menolak pandangan yang melarang pengucapan ungkapan-ungkapan tentang Tuhan serupa itu setelah sebelumnya tercapai kesepakatan tentang maknanya. Kita, lanjutnya, dapat membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah dan sifat-sifat-Nya sambil tetap menyucikan-Nya dari kesamaan dan tidak mengosongkan-Nya dari perumpamaan-perumpamaan tersebut.79

Tidak ada seorangpun yang mengenal Allah kecuali Allah sendiri, dalam hal keunikan kualitas dan inti ma‘rifah-Nya. Namun demikian, pengetahuan tentang Tuhan dapat didekati lewat perumpamaan-perumpamaan tanpa menurunkan-Nya dari keunikan transendensi-Nya, sebab perumpamaan tidak membawa implikasi penyamaan antara Tuhan dengan perumpamaan-Nya. Misalnya pernyataan pengetahuan kita bahwa Tuhan bersifat Maujud, Berdiri-sendiri, Hidup, dan seterusnya diperoleh lewat perumpamaan diri kita (manusia) yang juga bersifat maujud, mandiri, hidup dan seterusnya. Penyifatan Tuhan dan manusia dengan atribut-atribut yang sama tersebut tidak berarti penyerupaan atau penyamaan antara Tuhan dan manusia. Demikian pula penyebutan sifat-sifat Tuhan untuk manusia “tidak menjadikan penuturnya antropomorfis (tasybih), sebab tasybih mengimplikasikan adanya penyekutuan antara sifat-sifat manusia dan sifat-sifat Unik-Nya.”80 Dan penyebutan penutur tersebut semata-mata dimaksudkan sebagai perumpamaan, bukan penyekutuan. Di satu sisi, Tuhan bukanlah sifat-sifat itu, yakni, sifat-sifat manusia; perumpamaan, di sisi lain, Dia juga bukan selain sifat-sifat tersebut, yakni sifat-sifat yang sesuai dengan keunikan-Nya. Karenanya, jika dinyatakan bahwa Tuhan adalah Pengatur, dan Pengelola jagad raya, hal ini tidak berarti bahwa Dia berada di jagad raya dan mengatur serta mengelola sebagaimana manusia mengatur dan mengelola, melainkan bahwa kegiatan mengatur dan mengelola-Nya Dia lakukan secara unik sesuai dengan kelayakan keagungan-Nya yang tak-terjangkau mansuia—yang tidak dapat disamakan dengan pengaturan dan pengelolaan manusia.81

Penyucian Tuhan dari berita-berita tasybih tidak bisa dilakukan dengan cara mengingkari kemungkinan diterapkannya semua pengertian berita-berita tersebut pada salah satu dari lima tingkatan wujud. Sebab ini sama dengan pengosongan berita Rasullulah dari rujukan realitasnya. Siapa saja yang melakukan hal ini maka ia berarti telah melakukan pendustaan atas Rasulullah, dan karenanya kekufran murni. Sebaliknya, pengakuan seseorang atas salah satu pengertian makna ta‘wil berita-berita tasybih dan/atau rujukan wujudnya telah menjadikan dirinya termasuk dari mereka yang membenarkan Rasulullah.82

Antara Takfir dan Kepentingan Maslahat: Kasus Al-Ghazali

Meskipun Al-Ghazali mengakui ta‘wil sebagai hal yang niscaya, akan tetapi tidak berarti bahwa ia mengizinkan sembarang orang untuk melakukannya Bagi Al-Ghazali “Sikap kehati-hatian dalam persoalan tentang Allah dan sifat-sifat-Nya serta apa yang dimaksudkan lafaz-lafaz Al-Qur‘an menyangkut persoalan-persoalan tersebut jelas lebih penting dan utama dari kehati-hatian dalam…persoalan-persoalan fiqh lainnya.”83 Tidak seperti terhadap persoalan-persoalan fiqh, hikayat-hikayat dan nasihat-nasihat, ta‘wil atau tafsir terhadap masalah sifat-sifat Alah, seperti istiwa, al-fauq dan lain-lainnya tidak bisa hanya dipercayakan pada kejujuran seseorang, atau pada tafsiran ijtihad seorang mufasir, tidak juga pada sandaran hadits-hadits Ahad, namun harus didasarkan pada hadits-hadits mutawatir dan hadits-hadits yang diketahui keadilan periwayatnya.84

Hanya ahli m’arifatullah-lah yang, dalam kriteria Al-Ghazali, berwenang melakukan pena‘wilan tersebut.85 Sementara bagi orang-arang awam,86 langkah yang harus ditempuh dalam persoalan ketuhanan dan sifat-sifat tasybih ini adalah––selain taqdis, iman, dan tashdiq, sebagaimana telah dikemukakan diatas—mengakui kelemahan diri. Bahkan hal ini berlaku tidak hanya bagi kalangan awam, melainkan juga bagi para ilmuwan dan ahli ma’rifah.. Pernyataan Nabi, “Aku tidak menghitung pujian atas-Mu sebagaimana Engkau memuji Diri-Mu,” atau ucapan Abu Bakar, “Kelemahan mencapai pengertian merupakan pengertian itu sendiri,” merujuk pada kondisi akhir dari persoalan teologis ini.87 Langkah keempat adalah diam dan tidak bertanya, sebab ia akan semakin bodoh (bingung) jika yang ditanyainya juga tidak mengetahui (bodoh), atau dengan kebodohannya, ia tidak akan tambah paham andaipun yang ditanya itu orang pintar, dan tanpa disadari akan terseret pada kekufuran. Bahkan, tegas Al-Ghazali, andaipun ada pertanyaan dari mereka, maka menjawabnya adalah haram. Jika mereka memaksa bertanya, maka jawabnya adalah pecutan.88 Langkah kelima adalah tidak melakukan 1) tafsir, penggantian atau pereduksian lafaz dengan lafaz-lafaz yang tidak sinonim (semakna)—di sini, lafaz tersebut harus dipertahankan menurut bahasa Arabnya;89 2) ta‘wil; 3) tasyrif, yaitu pengubahan lafaz tasybih. Misalnya lafaz istiwa dengan murtawi, sebab hal ini dapat mengubah maknanya;90 4) qiyas, yaitu analog, atau pencabangan makna, misanya penganalogian lafaz yadun (tangan) dengan sa’id (penolong) dan lain-lain;91 5) menghindari mengumpul lafaz-lafaz tasybih yang terpisah-pisah menjadi bab-bab khusus tentang anggota badan. Misalnya penyusunan “Bab tentang Kepala,” “Bab tentang Tangan,” dan seterusnya, sebab hal ini dapat memperkuat makna lahir yang menjurus pada antropomorfistik;92 6) tidak memisahkan kata yang menyatu, misalnya, Dia Maha memaksa atas hamba-hamba-Nya, tidak bisa dikatakan menjadi “Dia di atas,” sebab pemisahan semacam itu tidak dapat menangkap nuansa makna yang terkadung dalam lafaz al-Qahir (Yang Mahamemaksa)93

Langkah keenam, memuaskan diri dengan sikap-sikap pencegahan di atas. Hal ini bisa diupayakan dengan menyibukkan diri dalam beribadah, shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir. Atau kesibukan-kesibukan lainnya, bahkan kesibukan orang awam dengan maksiat-maksiat badani akan lebih baik ketimbang dengan pendalaman bahasan ma’rifatullah, sebab jika yang pertama hanya mengakibatkan kefasikan maka yang kedua dapat menyebabkan kemusyrikan.94 Langkah ketujuh, mempercayakan penjelasan atas persoalan-persoalan ketuhanan tersebut kepada ahli ma’rifah. Apa yang tersembunyi bagi kalangan awan merupakan hal yang terbuka bagi Rasulullah, para shahabat, awliya, dan para rasyikh.95

Penyerahan kepercayaan kepada mereka ini tidak didasarkan atas asumsi bahwa mereka mengetahui segala sesuatu tentang Tuhan sebagaimana pengetahuan-Nya tentang Diri-Nya. Pengetahuan dan ilmu manusia, betapapun luasnya, tidak ada artinya dalam perbandingannya dengan pengetahuan Tuhan, mengingat pengetahuan yang mereka miliki hanyalah sedikit saja dari pemberian-Nya. Pada taraf epistemologis, tingkat inti ma’rifah tentang-Nya tidak akan pernah dapat dikenali oleh siapapun kecuali oleh Diri-Nya sendiri. Sementara pada taraf ontologis, pengetahuan-Nya tentang Diri-Nya terealisasi melalui kemeliputan kehadiran-Nya atas segala sesuatu yang ada dalam wujud, sebab tidak ada sesuatupun dalam wujud kecuali Tuhan dan (jejak-jejak) tindakan-tindakan-Nya. Secara epistemo-ontologis, Tuhan adalah Subjek dan Objek pengetahuan-Nya sendiri; Dia adalah Pengetahui (subjek), Yang diketahui (objek), dan Pengetahuan sekaligus.

Al-Ghazali nampaknya ingin mengatakan bahwa karena kemeliputan Tuhan tersebut, maka keberadaan mereka yang diserahi kepercayaan diatas juga, bahkan mungkin kalangan awam sendiri, juga merupakan manifestasi kehadiran-Nya. Hal ini dapat disimpulkan dari pengalegorianya tentang kemeliputan kehadiran Tuhan dengan kemeliputan kehadiran seorang sultan di suatu kerajaan terhadap para wazir dan pengawalnya. Sebagaimana sultan hanya memberikan perkenan bagi orang-orang kepercayaan khusus, seperti para wazir dan ponggawanya, untuk memasuki pintu istana dan melihat-lihat rahasia-rahasia kerajaan, dan tidak bagi sembarangan orang, seperti rakyat biasa, kecuali hingga tingkat-tingkat tertentu sesuai dengan tingkat kedekatan mereka dengan sultan—misalnya perkenan sultan bagi mereka untuk memasuki halaman istana dengan berbaris-baris sesuai tingkatannya—maka demikian juga Tuhan memberi para kepercayaan-Nya perkenan khusus, yang tidak diberikan kepada khalayak awam, yaitu untuk melihat rahasia-rahasia-Nya.

Semua itu menunjukkan perbedaan yang harus disadari oleh orang-orang awam antara dirinya dengan orang-orang kepercayaan Tuhan. Bahkan, lanjut Al-Ghazali, perbedaan dalam hal kedekatan dengan kehadiran Tuhan juga terjadi diantara orang-orang ‘arif itu sendiri. Bahkan lagi, pada akhirnya, para ‘arif pun mesti menyadari perbedaan antara dirinya dengan Tuhan. Dihadapan Kemahahadiran Tuhan yang tidak pernah terjangkau, tidak ada lagi yang dapat dilakukan oleh orang-orang ‘arif, terlebih oleh orang-orang awam, kecuali menundukkan pandangan dengan rasa hina karena kedahsyatan dan kebingungan yang teramat sangat. Inilah, tutup Al-Ghazali, yang harus diimani oleh orang awam secara umum, kendatipun mereka tidak memahaminya secara rinci.96

Sementara itu kewenangan yang disandang seorang ‘arif untuk melakukan ta‘wil, dalam kriteria Al-Ghazali, tidak membuatnya luput dari sarat-sarat yang harus diperhatikannya. Misalnya, bahwa pelaksanaan ta‘wilnya harus berlangsung secara pribadi antara dia dan Tuhannya, dan tidak boleh bersama orang-orang awam;97 atau boleh dibicarakannya kepada orang yang memiliki kekuatan bashirah yang sama seperti dirinya, atau kepada orang-orang yang sungguh-sungguh mencari ma’rifah.98 Selain itu, tidak boleh mengklaim bahwa ta‘wil lafaz ini adalah demikian dan demikian, jika ta‘wilannya itu berasal dari dugaannya; dan bahwa ia harus menyatakan kejujuran dirinya tentang derajat dugaan ta‘wilannya itu, dengan misalnya mengatakan, “Saya kira maksudnya begini”99 Seorang ‘arif dapat meyakini ta‘wilannya [untuk dirinya sendiri] jika ia merasa pasti dengan ta‘wilannya itu. Jika ragu, hendaknya ia tawaqquf, dan menghindar dari coba-coba menetapkan makna ta‘wil suatu lafaz atas nama Allah dan Rasul-Nya berdasarkan ucapannya sendiri, sebab boleh jadi pandangan (ta‘wil)nya tertarjikh oleh pandangan yang lain.100

Pena’wilan diperbolehkan apabila terdapat petunjuk (burhan) yang jelas tentang kemustahilan pengertian lahiriah. Akan tetapi dalam prakteknya, perbedaan pandangan tentang ada atau tidak-adanya burhan telah memunculkan perselisihan antar kelompok keagamaan dalam hal sah atau tidaknya ta‘wil tersebut. Asy’ariyah dan Hambaliyah yang sama-sama menganut aliran salafi, misalnya, secara berurutan tidak menemukan burhan tentang kemustahilan melihat Tuhan di Surga dan tentang kemustahilan adanya sifat khusus Tuhan berkenaan dengan posisi-Nya yang berada diatas. Sehingga dari sini mereka menuduh mereka yang melakukan pena’wilan atas ‘melihat Tuhan’ dan ‘posisi diatas’ sebagai pembid’ah.101 Dan hal ini nampaknya dirasakan Al-Ghazali sebagai persoalan pelik lain menyangkut persoalan ta‘wil.

Kepelikan ini bisa kita pahami terutama jika kita lihat bahwa pembicaraan tentang tasybih dalam wacana Ilmu Kalam nampak menjadi kritis (gawat) ketika ia dihubungkan dengan persoalan iman dan kufr. Ketika indikator makna kufr, seperti didefinisikan Al-Ghazali, adalah “Sikap mendustakan Rasulullah Saw. akan suatu hal yang diajarkanya; sementara iman berarti membenarkan Rasulullah Saw berkenaan dengan semua ajaran yang dibawanya,”102 maka dalam kaitannya dengan persoalan tasybih sebagian mutakallimin (teolog) cenderung untuk mena’wilkannya agar selaras dengan doktrin tauhid mereka, sementara sebagian lainnya cenderung menegaskannya atas dasar keimanan mereka kepada Rasulullah Saw. Dengan cara-cara yang berbeda tersebut, masing-masing kelompok mengklaim sebagai pembenar Rasul. Kekritisan persoalan tasybih muncul ketika mereka menuduh satu sama lainnya sebagai pendusta ajaran Rasulullah dan pada gilirannya terlibat praktek pengkafirkan (takfir) satu sama lain.. Al-Ghazali, misalnya, menceritakan bahwa seorang pengikut Hambali mengkafirkan Asy’ari yang dianggapnya telah mendustakan Rasulullah Saw dalam hal pengafirmasian mereka akan sifat-sifat seperti Allah berada di atas, Allah bertahta di atas singgasana. Demikian juga Asy’ari mengkafirkan Hambaliyah karena dianggapnya telah melakukan tasybih (antropomorfisme)––dan karenanya telah melakukan pendustaan terhadap Rasulullah Saw––berkenaan dengan ajaran Nabi tentang “Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya.” Dalam pada itu, Asy’ari mengkafirkan pengikut mazdhab Mu’tazilah yang dianggapnya telah mendustakan Rasulullah berkenaan dengan penolakan mereka terhadap kemungkinan melihat Allah di akhirat, dan terhadap adanya sifat-sifat al-ilm, al-qudrah, dan sifat-sifat lainya. Sebaliknya Mu’tazilah mengkafirkan ‘Asy’ari karena dianggapnya telah merusak ajaran tauhid karena telah menetapkan adanya sifat-sifat bagi Allah.103

Persoalan iman dan kufr, menurut Al-Ghazali, tidaklah sejelas sebagaimana penampakannya. Seringkali bahwa kesempatan untuk terjadinya konflik dan praktek pengkafiran antar berbagai kelompok keagamaan dipicu oleh sikap pemujaan dan kebergantungan masing-masing terhadap otoritas anutannya menyangkut kebenaran suatu persoalan tertentu. Sikap seperti ini cenderung membawa orang pada fanatisme kelompok dan menilai pihaknya—sadar atau tidak—sebagai berkedudukan sama dengan posisi Rasulullah yang tidak pernah salah, atau sebagai pengikutnya yang paling benar, sehingga pengingkaran terhadap perbedaan dengan pandangan-pandangan kelompoknya berarti kafir, tidak beriman dan pendusta Rasulullah.104 Praktek pengkafiran juga dapat muncul dari sikap taqlid buta terhadap suatu kelompok sehingga karena kecondongan terhadap kelompoknya ketimbang kepada yang lainnya, maka seseorang akan terdorong untuk mengkafirkan pihak-pihak yang menyalahi kelompoknya.105

Persoalan burhan juga bukanlah hal yang gampang dan mudah untuk dipahami. Setiap kelompok memiliki suatu kesepakatan masing-masing dan berhak untuk mengembangkan pertimbangannya sendiri-sendiri tentang apa yang mereka pandang sebagai burhan, sehingga, menurut Al-Ghazali, tidaklah perlu bagi masing-masing kelompok untuk saling mengkafirkan satu sama lainnya.106 Bahkan tidak sepantasnya bagi suatu pihak untuk mengkafirkan seseorang yang ia lihat terlalu tergesa-gesa berpegang pada suatu interpretasi yang tidak jelas burhannya. Alih-alih ia harus menyelidiki terlebih dahulu apakah ta‘wilnya tersebut bersesuaian dengan prinsip-prinsip kepercayaan umum beserta konsekuensi-kosekuensinya. Jika ta‘wilnya dapat mendatangkan kekacauan pikiran bagi khalayak umum, maka ia dapat dipandang sebagai pembid’ah dalam hal-hal yang tidak diketahui kaum Salaf.107

Sementara itu, sejauh mana seseorang dapat dikategorikan sebagai kafir atau tidak, aku Al-Ghazali, merupakan persoalan yang sangat rumit. Sebab penjelasan mengenai hal itu akan menuntut perincian dan pembeberan yang panjang lebar atas setiap pendirian mazhab beserta argumen-argumen yang dipakainya dan kepelikan-kepelikan yang terkandung di dalamnya, pekerjaan ini tidak bisa tercakup dalam berjilid-jilid buku. Karenanya, saran Al-Ghazali,

“Hendaknya anda menahan lidah anda (jangan mengkafirkan) terhadap setiap ahl al-qiblah sedapat-dapatnya selama mereka mengucapkan ‘Tidak ada Tuhan selan Allah dan Muhammad adalah utusanya’ dengan tidak . . . membolehkan adanya kebohongan bagi Rasulullah saw, baik dengan suatu alasan ataupun tanpa alasan.”108

Ketergesa-gesaan dalam menghakimi orang lain sebagai kafir menunjukkan sikap dungu dan sembrono.109

Dari sini nampak bahwa kebijakan Al-Ghazali dalam menetapkan boleh/tidaknya ta‘wil atas persoalan tasybih dan ketuhanan yang tidak terlepas dari perhatiannya terhadap kemaslahatan umat, disamping terhadap kefundamentalan persoalan tersebut, merupakan benang merah posisinya. Demikianlah pula ketika persoalan ta‘wil yang dibicarakannya meluas ke wilayah takfir. Sebagaimana terlihat, ketika gagasan tentang burhan menjadi patokan syah/tidaknya suatu ta‘wilan, Al-Ghazali., alih-alih mengizinkan suatu pihak untuk mengkafirkan mereka yang kelihatan cacat dalam burhannya, justru menyarankannya untuk memeriksa pihaknya sendiri menyangkut apakah ta‘wil yang dilakukannya itu tidak akan mendatangkan kekacauan di antara umat. Al-Ghazali nampaknya melihat bahwa persoalan burhan tidaklah lebih signifikan jika dibandingkan dengan kemaslahatan umat, kendatipun tentu saja gabungan burhan dengan kemaslahatan merupakan hal yang sangat dikehendakinya. Karenanya, bagi Al-Ghazali, pena’wilan dapat dilakukan, sekalipun berdasarkan [burhan] dugaan, apabila ternyata dapat mendatangkan manfaat bagi si pena’wil atau bagi orang yang diberitahukan makna ta‘wilannya itu, dan tidak boleh dilakukan apabila mendatangkan mudharat (kekaburan akidah).110

Dalam konteks kemaslahatan inilah mungkin kita harus membaca praktek takfir yang, secara ironis, dilakukan Al-Ghazali sendiri terhadap para filosof.111 Perlakuan beliau terhadap mereka nampaknya juga tidak lepas dari pertimbangannya bahwa melancarkan pengkafiran terhadap mereka jauh tidak menimbulkan bahaya, atau jauh lebih mendatangkan keselamatan, ketimbang menghindari pengkafiran tersebut, bagi kepentingan umat. Pembacaan seperti ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk menyembunyikan ironi yang begitu nampak dalam kontradiksi-diri Al-Ghazali. Dan, jika pertimbanganya itu tidak sesuai dengan kenyataan maka beliau nampaknya tidak akan berkeberatan dan bahkan terbuka pada kritik jika hal itu dilakukan atas dasar prinsip kemaslahatan.

Dalam kerangka wacana teologi mistis Al-Ghazali, prinsip kemaslahatan nampaknya tidak bisa dilihat sebagaimana prinsip kemaslahatan yang dilihat dalam kerangka teologi rasional-dialektik, mengingat pertimbangan yang terakhir ini justru merupakan sasaran kritiknya. Tuhan Al-Ghazali, meminjam bahasa Ian Richard Netton,112 bukanlah tuhan para teolog-proses modern yang kendatipun eksistensi-Nya berada tidak di luar waktu dan terlibat dalam proses-waktu, akan tetapi transendesi dan independensi-Nya dari dunia telah mereka tolak. Tuhan mereka adalah lebih sebagai pengarah dan rekanan kesaling-tergantungan dengan dunia ketimbang sebagai pengendali dunia.

Gambaran tentang tuhan para teolog-proses ini nampaknya tidak jauh berbeda dengan gambaran tuhan para filosof Peripatetik (terutama Ibn Sina) yang dikritik Al-Ghazali. Menurutnya, tuhan yang mereka bicarakan adalah tuhan yang menyerupai seorang insinyur pemanas mesin [seperti gagasan Deisme?] dibandingkan sebagai Pencipta makna alam. Dengan begitu mereka menempatkan makna alam pada alam itu sendiri. Dan, akibatnya mereka melucuti Tuhan dari semua peran yang berarti.113 Seberapa pun seringnya para filosof berbicara tentang Tuhan, menurut Al-Ghazali, mereka hanya memperlakukan-Nya sebagai nama (nominal) untuk suatu gagasan kosong. Tuhan adalah (“nama besar”) yang tidak diberi ruang untuk bertindak apa-apa.114 Tidak mengherankan jika tuhan seperti ini bisa sangat adaptif, atau bahkan tunduk, terhadap putusan-putusan rasionalitas dan kehendak-kehendak manusia. Karenanya, kemaslahatan yang dipikirkan tuhan atau dikehendaki-Nya adalah juga kemaslahatan yang dipikirkan dan dikehendaki manusia. Demikianlah kira-kira prinsip kemaslahatan dalam kerangka teologi rasional dialektik.

Kendatipun, di satu sisi, boleh jadi Al-Ghazali setuju dengan gagasan keterlibatan Tuhan di dalam proses waktu, seperti mengatur dan mengelola bumi, sebagaimana telah disebutkan, akan tetapi di sisi lain, beliau juga nampaknya tidak melihat keterlibatan-Nya sebagai aksi-turun dari transendensi dan independensi-Nya yang sedemikian sehingga menjadi semata-mata rekanan kesaling-tergantungan dengan dunia (manusia), menjadi semata-mata pengarah dan kurang sebagai pengendali. Tuhan Al-Ghazali adalah Tuhan yang terlalu transenden untuk semata-mata adaptif atau tunduk kepada keputusan rasional; Ia adalah Tuhan yang memerlukan pendekatan tidak hanya rasional melainkan segenap totalitas kedirian manusia, yakni dengan ilmu (pengetahuan) dan amal (pengalaman) yang benar sedemikian sehingga perkembangan wujud/pengetahuan manusia tidak hanya berhenti pada tatanan rasional-inderawi-material melainkan terus melampauinya sampai teraktualkannya kekuatan nubuwwah, suatu kekuatan yang mampu membuahkan pengetahuan-meyakinkan tentang berbagai persoalan sebagaimana adanya. Kemaslahatan dalam kerangka teologi mistik Al-Ghazali adalah kemaslahatan yang berada dibawah naungan pengetahuan ini.115

Kerangka teologis inilah yang mungkin digunakan Al-Ghazali dalam menangani persoalan teologis di kalangan awan. Menurutnya, penjelasan bagi mereka tentang persoalan-persoalan ketuhanan dapat diberikan melalui dalil-dalil nash yang tidak menuntut perenungan mendalam. Misalnya tentang keesaan Tuhan kita dapat mengutip QS Al-Anbiyaa‘ [21]: 22, “Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) terdapat tuhan-tuhan selain Alah, maka pastilah keduanya akan rusak,” dan seterusnya. Baginya, dalil-dalil yang memerlukan perenungan mendalam yang hanya cocok untuk para ahli kalam tidak mesti diberikan kepada mereka, sebab hal itu akan menjadi nutrisi yang buruk bagi keimanannya.116

Menanggapi semakin maraknya berbagai bid’ah di tengah-tengah masyarakat pada masa beliau yang menuntut penjelasan, Al-Ghazali berpendirian bahwa penjelasan atas bid’ah-bid’ah itu, yakni pertanyaan-pertanyaan tentang persoalan ketuhanan yang tidak marak terjadi pada masa shahabat, bisa saja dilakukan. Hanya saja kegunaannya akan terbatas bagi segelintir orang dan resiko keburukannya akan terlihat pada lebih banyak lainnya, mengingat jumlah orang-orang bodoh yang lebih banyak ketimbang orang-orang cerdas. Karenanya, dalam menyikapi bid’ah-bid’ah tersebut, Al-Ghazali menawarkan cara salaf, yakni dengan membungkam pertanyaan-pertanyaan tersebut melalui kilatan pedang, dengan pertimbangan bahwa manfaatnya akan dirasakan banyak orang, kendatipun tidak memuaskan bagi sebagian kecil lainnya.117

Dalam kaitannya dengan persoalan iman, Al-Ghazali mengingatkan bahwa pertumbuhan keimanan tidak bergantung pada kecanggihan argumen-argumen teologis. Dengan peringatannya ini, Al-Ghazali tidak bermaksud menafikan kefektifan Ilmu Kalam bagi sementara manusia dalam menumbuhkan keimanan mereka, hanya saja beliau berkeberatan jika para praktisi Ilmu Kalam memaksakan argumentasi-argumentasi teologis rumit mereka kepada orang-orang awam, dan jika menuduh kalangan awam sebagai kafir hanya karena kelemahannya memahami prinsip-prinsip syar’i dengan menggunakan argumen-argumen teologis tesebut. Bahkan iman yang diperoleh dari dalil-dalil teologis adalah lemah dan mudah runtuh karena argumen-argumen yang menjadi landansannya kerap kali rentan terhadap ketidakjelasan dan bantahan-bantahan.118

Bagi Al-Ghazali, iman adalah “Cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam jiwa hambanya sebagai karunia dan hadiah dari-Nya,”119 apakah melalui kesadaran batin yang tidak bisa diubah, melalui mimpi, melalui kekarismatikan seseorang yang dilihatnya dan lain-lain. Setiap orang yang meyakini apapun ajaran yang dibawa Rasulullah dan yang dikandung Al-Qur’an dengan keyakinan yang teguh, maka ia adalah seorang yang beriman, meskipun ia tidak mengenal dalil-dalilnya. Keimanan yang teguh pada diri kaum awam dapat terpupuk sejak semasa kecil melalui mendengar banyak hal, atau setelah dewasa melalui suatu situasi yang tak terbantahkan, serta ketekunanya melakukan ibadah. Ketika peribadatan yang dilakukan kaum awam telah mencapai hakikat taqwa dan kesucian batin dari kotoran-kotoran keduniawian, maka apa yang mereka yakini secara taqlid akan terbukti sebagai kebenaran dan persaksian.120

Kesimpulan

Pembicaraan Al-Ghazali tentang Ilmu Kalam nampaknya berada dalam persinggungan dengan mistisisme. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Al-Ghazali menekankan pentingnya peranan fakultas lain selain akal dalam menghampiri (Esensi) Tuhan. Berbicara tentang Esensi Tuhan berarti berbicara tentang Kemahameliputi kehadiran Tuhan dalam segala sesuatu; Esensi Tuhan adalah Wujud-Nya sendiri. Kehadiran Tuhan sebagai Esensi merembesi berbagai tingkat wujud yang tidak dapat didekati hanya dengan mengandalkan kekuatan akal semata. Dalam kerangka inilah Al-Ghazali berbicara tentang persepsi nubuwwah yang dapat berperan melengkapi capaian akal. Jika penghampiran akal berlangsung melalui pembatasan-pembatasan (defnisi) realitas, maka persepsi nubuwwah dengan dzauq-nya mampu menghadirkan realitas secara apa adanya. Dan inilah yang menjadikan Al-Ghazali terlihat sebagai seorang mistik, sementara sistem teologinya mungkin dapat digolongkan ke dalam bentuk teologi mistik atau teosofi.

Pengoptimalan fakultas epistemologis tentu saja tidak dimaksudkan untuk mengenal Tuhan/Wujud sebagaimana Dia mengenal Diri-Nya, sebab Wujud tidak akan pernah terpahami kecuali oleh Diri-Nya Sendiri. Satu-satunya pengetahuan tentang-Nya adalah pengetahuan bahwa Tuhan tidak bisa diketahui. Namun demikian semakin integral perangkat epistemologis yang digunakan, maka semakin besar pula peluang untuk sampai pada pengetahuan yang relatif lebih benar ketimbang yang dicapai oleh perangkat yang parsial..

Daftar Singkatan Buku

Buku-buku yang dipakai rujukan dalam pembuatan artikel Teologi Al-Ghazali ini adalah beberapa karya dari Al-Ghazali sendiri. Untuk memudahkan penulisan makalah ini karya-karya yang sering dikutip disingkat sebagai berikut:

FT Faishal Tafriqoh, diterjemah Nurcholish Madjid dalam Khazanah Intelektual Islam, 1984, Bulan Bintang, Jakarta.
IA Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilmi al-Kalam, diterjemah Drs. Masyhurt Abadi dalam Transendensi Ilahi, 1999, Pustaka Progresif: Surabaya
MGA Al-Madhnun ‘ala Ghairi Ahlihi, diterjemah Masyhur Abadi dalam Transendensi Ilahi, 1999, Pustaka Progresif: Surabaya.
MmD Al-Munqidz min al-Dhalal, tt., al-Maktabah al-Sa’biyah, Beirut, Libanon
SCK Setitik Cahaya dalam Kegelapan, Terj. Masyhur Abadi, 2001, Pustaka Progre-sif: Surabaya. Buku ini adalah terjemahan dari al-Munqidz min al-Dhalal.
TF Tahafut al-Falasifah, dialihbahasakan Ahmadie Thaha kedalam Tahafut Al-Falasifah: Kerancuan Para Filosof, 1986 Purtaka Panjimas: Jakarta.

Catatan kaki:
1. Al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dhalal, tt. Beirut, Libanon hal. 35-36. Untuk selanjutnya karya Al-Ghazali ini disingkat MmD. Penyebutan pembid’ah nampaknya ditunjukkan kepada mereka yang memperlihatkan sikap-sikap yang tidak sejalan dengan sikap ulama mazhab salaf yang merupakan mazhabnya para shahabat dan tabi’in (Al-Ghazali, Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilmi al-Kalam, diterjemahkan oleh Drs. Masyhur Abadi dalam Transendensi Ilahi, 1999, Pustaka Progresif: Surabaya, hal. 37. Selanjutnya karya Al-Ghazali ini disingkat IA). Dalam konteks Ilmu Kalam, Al-Ghazali mengidentifikasi praktek-praktek bid’ah dalam diri orang-orang yang giat mengajukan pertanyaan, melakukan pembahasan dan penelitian dalam persoalan-persoalan teologi, seperti apakah Tuhan memiliki sifat, apakah Al-Qur’an merupakan makhluk atau bukan-makhluk dan sebagainya. Kegiatan ini ditunjuk sebagai bid’ah karena tidak ada contoh dari mereka yang dinamakan ulama salaf (shahabat dan tabi’in), lihat misalnya dalam IA hal. 82. “Bid’ah adalah ungkapan tentang penciptaan paham yang tidak diketahui asalnya dari kaum salaf” (Al-Ghazali, Faishal Tafriqoh, diterjemahkan oleh Nurcholish Madjid dalam Khazanah Intelektual Islam, 1984, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 175. Selanjutnya karya ini disingkat FT)
2. MmD, hal. 36.
3. MmD, hal. 36. ‘Penyakit yang kuderita’ maksudnya adalah keraguan beliau akan kemampuan indera dan akal dalam memperoleh pengetahuan yang tidak teragukan. Ibid. hal. 26-27, 27-31.
4. Dikutip dari catatan kaki untuk Al-Ghazali, Al-Muqidz min al-Dhalal, diterjemahkan oleh Masyhur Abadi dalam Setitik Cahaya dalam Kegelapan, 2001, Pustaka Progresif: Surabaya, hal. 132. Selanjutnya buku ini disingkat SCK.
5. FT, hal. 193. Di beberapa tempat dalam Ihya-nya, beliau mengutip berbagai pandangan tokoh yang menilai Ilmu Kalam secara negatif bahkan hingga taraf mengharamkan juga, dan berkata, “Yang mengharamkannya [Ilmu Kalam] adalah Syafi’i, Malik (bin Annas), Ahmad bin Hambal, Sufyan, dan semua ahlul hadits dari orang-orang salaf”, dalam SCK, hal. 129.
6. IA, hal. 42, 48. Al-Ghazali bahkan berpandangan bahwa bagi para penganut sederhana seperti ini, praktek taqlid merupakan hal yang penting. Memang taqlid terbuka baik pada kebenaran maupun kesalahan, akan tetapi Al-Ghazali tidak setuju jika pemecahan atas persoalan taqlidat (gagasan yang ditaqlidi) yang salah dilakukan dengan cara menghapuskan taqlid itu sendiri. Menurutnya secara praktis, ini mustahil. Baginya, hal terperting dalam persoalan taqlid adalah bagaimana mengarahkan diri [atau mereka] untuk mempertanyakan kebenaran dan kesalahan taqlidat dan kemudian menyaringnya dari yang salah. Pandangan Al-Ghazali tentang taqlid ini harus dilihat dalam konteks pencariannya akan tingkat kepastian (pengetahuan) yang lebih ditengah-tengah samudra luas perdebatan mengenai apa yang benar dan yang salah. Dan, taqlid merupakan merupakan dorongan kuat bagi relisasi pencarian ini. Namun demikian, Al-Ghazali membatasi praktek taqlid ini, yaitu penerimaan kebenaran berdasarkan otoritas, hanya kepada mereka yang telah dianugrahi pengetahuan yang benar, mereka yang memegang otoritas yang syah dalam menafsirkan dan menjelaskan pengetahuan tentang masalah-masalah religius dan spiritual. (Osman Bakar, Tauhid dan Sains : Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, 1995, Bandung : Pustaka Hidayah, hal. 55-57)
7. MmD, hal. 36-37. Al-Ghazali mengizinkan (1) orang yang mengalami kesulitan pemikiran [dalam persoalan ketuhanan] yang tidak bisa hilang hanya dengan uraian-uraian mudah berupa nasehat-nasehat atau dengan berita-berita yang datang dari Rasulullah untuk mengikuti uraian-uraian sistematik menurut Ilmu Kalam; (2) orang yang telah memiliki kekuatan iman dan kemantapan beragama; dan penguasaannya terhadap Ilmu Kalam harus dimaksudkan untuk menyembuhkan orang yang terlanda keraguan, dan membungkam para pembid’ah yang dapat merusak akidah ummat. (FT, hal. 193-194)
8. SCK, hal. 132.
9. Kecurigaannya ini beliau rasakan ketika berasumsi bahwa terlampauinya kapasitas fakultas inderawi oleh akal dalam memperoleh pengetahuan yang pasti akan membukakan kemungkinan adanya fakultas lain yang boleh jadi melebihi kapasitas akal. Ketidakmemadainya akal, misalnya, dapat disaksikan dalam ketidakmampuannya untuk membedakan antara ke-real-an ralitas harian dengan realitas mimpi yang begitu meyakinkan bagi si pemimpi, (MmD 29-30) terlebih lagi ketidakmampuannya dalam persoalan Ilmu Kalam.
10. TF, hal. 9.
11. TF, hal. 124-125.
12. MmD, hal. 75.
13. MmD, hal. 31
14. MmD, hal. 77.
15. MmD, hal. 79.
16. MmD, hal. 80.
17. MGA, hal. 154.
18. MmD, hal. 80-81.
19. MmD, hal. 81. Contoh lain yang dikemukakan Al-Ghazali tentang fenomena ini adalah ilmu astronomi dan kedokteran. Pengetahuan dalam bidang tersebut––tentang peristiwa yang hanya terjadi setiap seribu tahun, atau tentang khasiat-khasiat pengobatan, misalnya––tidak bisa diperoleh dengan semata-mata pengamatan empirik, melainkan mesti melibatkan ilham dan taufiq Allah. Menurut Al-Ghazali, contoh-contoh ini adalah mu’jizat para nabi (MmD, hal. 81). Dari sini agak jelas bahwa Al-Ghazali nampaknya merujuk kekuatan nubuwwah ini sebagai kekuatan yang dimiliki para nabi yang dapat memahami hal-hal yang berada diluar jangkauan akal.
20. MmD, hal. 68.
21. MmD, hal. 84.
22. MmD, hal. 68-70.
23. MmD, hal. 76.
24. Bdk. MmD, hal. 71.
25. MmD, hal. 76.
26. MmD, hal. 81.
27. MmD, hal. 81.
28. MmD, hal. 86.
29. MGA, hal. 145-146.
30. MGA, hal. 146.
31. MmD, hal. 85.
32. MmD, hal. 86-87.
33. MmD, hal. 86.
34. MmD, hal. 88.
35. MmD, hal. 211.
36. IA, hal. 78; MmD, hal. 79.
37. MGA, hal. 133.
38. MGA, hal. 128-29, 132.
39. MmD, hal. 80.
40. MGA, hal. 128-29, 132-33.
41. Prof. H. A. Rivay Siregar, 2000: 240.
42. FT, hal. 174.
43. Bdk. FT, hal. 168.
44. FT, hal. 163-66.
45. FT, hal. 170.
46. Mehdi Heiri Yazdi, Ilmu Hudhuri: Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, 1996, Bandung: Mizan, hal. 54-55
47. Dalam konteks filsafat Islam, misalnya, dinyatakan bahwa jenis objek-objektif (eksternal) merupakan sesuatu yang bisa dipertanyakan keberadaannya meskipun secara pasti diyakini bahwa ia memang ada. (Ibid. hal. 66) Meskipun pada akhirnya objek-objektif (eksternal)-lah yang menjadi sebab (kausa final) bagi terdorongnya tindakan intensional subjek untuk mengetahui sesuatu (objek)––subjek sendiri tidak mungkin memotivasi tindakan intensionalnya sendiri karena sebagai subjek yang selalu hadir dalam dirinya sendiri ia tidak mungkin menjadi objek bagi dirinya sendiri; pikirannya dirancang sebagai kausa efisien untuk tindakan/kegiatan intensional pada objek pengetahuannya––akan tetapi objek-subjektif/mentallah yang merupakan penyebab pertama (kausa prima) tindakan subjek tersebut. Bayangan mental objeklah yang pada gilirannya menggerakkan dan menyebabkan subjek-pengtahui (sebagai kausa efisien) dalam pelaksanaan kegiatan mengetahui. Tanpa gagasan-objek (objek mental) di dalam pikiran subjek-pengetahuan, niscaya kesempatannya (subjek) untuk menjadi kausa efisien dalam kegiatan pengetahuan akan tetap berada dalam potensialitasnya dan tidak akan pernah teraktualkan sama sekali. (Ibid., 56-57) Objek-objek eksternal (objek objektif) bukanlah bagian esensial (inti) dan hanya memiliki peranan aksidental saja dari proses pengetahuan. Pengetahuan secara esensial dibentuk oleh 1) tindakan mengetahui + subjek pengetahuan + objek pengetahuan. dalam konteks ini objek pengetahuan tersebut tidak lain dari objek subjektif, sementara mengenai objek-objektif dapat dipertanyakan apakah ia benar-benar diketahui. (Ibid., hal. 64-66) ). Pengetahuan manusia tentang objek-objek eksternal adalah bersifat derivatif melalui representasi-representasinya yang terdapat di dalam pikiran kita. (Ibid. hal. 157).Sementara dalam konteks filsafat Barat (Posmodernisme), realitas (objek) yang dapat diketahui manusia hanyalah realitas sejauh terbahasakan, yakni imaji-imaji atau konsep-konsep tertang realitas itu yang terdapat dalam dunia pikiran/imajinasi (objek subjektif), dan bukan realitas fisik yang secara eksternal berada diluar subjek. (H. Tedjoworo, Imaji dan Imajinasi: suatu telaah filsafat Postmodern, 2001, Kanisius : Yogyakarta, hal. 112-116) Realitas ekstralinguistik berfungsi sebagai postulat saja, yang tanpanya fungsi dan nilai bahasa tidak bisa dimengerti sama sekali. (I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filasafat, 1996, Kanisius :Yogyakarta, hal. 153-54)
48. Penulis tidak merasa pasti apakah pembagian Al-Ghazali atas kedua tingkatan wujud itu, esensial dan inderawi, dimaksudkannya seperti pembagian yang berlaku konteks filsafat pada umumnya, objek-objektif dan subjektif. Analisis tentang tamyiz ini nampaknya perlu penggalian lebih lanjut terhadap karya-karya Al-Ghazali lainnya. Dan, penulis sangat terbuka terhadap koreksi.
49. Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, Terjemahan oleh Musa Kadzim dan Arif Mulyadi, 2002, Bandung: Mizan, hal. 114, 79. Kutipan tentang imajinasi dari Leaman ini penulis maksudkan sebagai pandangan Leaman sendiri, yang dalam beberapa hal penulis sepakati, dan bukan sebagai padangan para Shufi (seperti Ibn ‘Arabi dan Suhrawardi) yang ia coba kemukakan. Ketertarikan Leaman untuk menegaskan status nyata imajinasi secara umum, dan ketidaktertarikannya untuk membedakan antara hal imajinal yang mengacu kepada ranah ontologis tertentu yang secara nyata dialami para Shufi dengan hal imajiner yang mengacu pada objek jadi-jadian (make-believe/khalayan) [dalam pikiran (imajinasi inderawi material atau semi-immaterial)] sebagaimana dibedakan oleh Henri Corbin, (Ibid., h. 79. Lih. juga catatan penyunting tentang hal ini) menyarankan kita (para pembaca) untuk berhati-hati memahaminya.
50. Ibid., hal. 123.
51. Dalam penjelasannya tentang objek eksternal-material dan objek-objek yang terpisah dari materi (objek-subjektif), Mulla Shadra bahkan menyebutkan objek terakhir dalam tiga bentuk wujud. “Bentuk benda-benda ada dua jenis, yang pertama adalah bentuk material yang eksistensinya diasosiasikan dengan materi dan posisi, dan bersifat spaso-tempora. Berkenaan dengan kondisi materialnya yang ditempatklan diluar kuasa mental kita, bentuk ini tidak mungkin terpahami secara aktual [dan imanen/subjektif], karena itu tidak pula “terinderai secara aktual” [dan imanen] kecuali secara aksidental. Bentuk yang kedua adalah bentuk yang bebas dan terpisah dari materi, dari posisi, dari ruang dan lokasi. Pemisahan itu adalah melalui abstraksi sepenuhnya seperti “suatu hal-hal terpahami yang aktual”, atau melaui abstraksi tak lengkap seperti “hal-hal terkhayalkan [terimajinasi-immaterialkan] yang aktual” dan “objek-objek terinderai yang aktual” (dalam Mehdi, Ibid., hal. 66)
52. H. Tedjoworo, Ibid., hal. 27, 62-63, 113
53. I. Bambang Sugiharto, Ibid., hal. 156-160
54. Hal yang sama juga diakui Shufi Ibn ‘Arabi. Menurutnya, pada sebagian orang yang berupaya mencapai pemahaman tentang sesuatu, fakultas rasional mereka sangat boleh jadi tunduk pada kekuatan reflektif (fikr) mereka sehingga ia hanya menerima suatu pemahaman berdasarkan interpretasi dan timbangan refleksi tersebut. Adakalanya juga bahwa makna-tak-berbentuk dari sesuatu (yang seharusnya dipahami rasio tersebut) terbajui bentuk-bentuk imajinal sehingga membuat makna tersebut luput dari orang-orang yang berkemampuan terbatas dalam menembus bentuk-bentuk tersebut. Seseorang, lanjut Ibn ‘Arabi, akan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan dalam menemukan makna sesuatu yang-tak-berbentuk ini ketika ia melihat refleksinya memasuki khazanah imajinasi lalu berpaling dan keluar darinya. Selanjutnya ia mengiringi refleksi tersebut menuju rasio agar dapat menyaksikan makna yang terlepas dari bentuk-bentuk sebagaimana adanya. Di sini pertama-tama yang disaksikannya adalah refleksi yang terlepas dari bentuk-bentuk setelah sebelumnya terbajui bentuk-bentuk imajinatif. Ketika ia naik ke rasio (‘aql) ia juga menyaksikannya terlepas dari substrata (bentuk-bentuk), dan menjadi akrab dengan dunia makna-makna yang terlepas dari bentuk-bentuk (substrata). Dari sini ia, bahkan, dapat menyaksikan jejak Al-Haqq dalam makna-makna yang tak berbentuk. Di sini ia melihat apa yang dari sudut pandangnya sendiri sebagai kemungkinan-kemunginan-Nya yang mustahil untuk dapat diketahui. Pengetahuan tentang-Nya dalam ukuran tertentu yang tersingkap dalam kondisi ini tidak dapat ditentukan apanya kecuali kenyataan bahwa Tuhan telah menyingkapkan Diri-Nya tanpa bentuk, tidak lebih dari itu. Hal ini disebabkan karena penyingkapan Diri-Nya padanya (seorang hamba-Nya) tidak identik dengan penyingkapan-Nya pada selainnya (hamba lain-Nya). Tidak juga penyingkapan-Nya kepadanya dalam suatu lokus identik dengan penyingkapann-Nya dalam lokus lain. Sehingga penyingkapan-Nya tidak bisa ditentukan ataupun dikomunikaskan. Di sini ia memahami persoalan-persoalan, yang sebelumnya telah ia ketahui melalui pengetahuan dan keimanan, melalui penyaksian. Dan, ketika ia kembali ke dunia bentuk-bentuk (substrata)nya, penyingkapan Al-Haqq menyertainya sehingga ia tidak masuk ke dalam suatu kehadiranpun kecuali melihat-Nya mentransmutasikan Diri-Nya dalam kehadiran tersebut sesuai dengan properti kehadiran tersebut [tanpa kehilangan makna/pengetahuan yang telah diperolehnya]. Ketika ia turun ke dunia imajinasinya ia melihat-Nya di Kehadiran Imajinasi ini dalam bentuk yang berjasad (non-material). Demikian pula ketika turun dari dunia imajinasi ke wilayah dunia idrawi Al-Haqq turun bersamanya melalui penurunanya, sebab Dia tidak pernah meninggalkannya. Ia menyaksikan-Nya sebagai identik dengan dirinya dan dengan semua aksiden-aksiden dan bentuk-bentuk berjasad-material (corporeal bodies) di dalam kosmos, akan tetapi ia juga melihat-Nya sebagai tidak-identik baik dengan dirinya atupun kosmos, tanpa kebingungan. Muhyiddin Ibn ’Arabi, al Futuhat al Makiyyah, volume III, t.th, Dar as Sadir, hal. 232.20, 234.15. William C. Chittict, Shufi Path of Knowledge : Ibn ‘Arabi Metaphysics of Imagination, 1989, State University of New York Press: Albany, hal 184-185
55. Al-Ghazali, Al-Madhnun ‘ala Ghairi Ahlihi, diterjemahkan oleh Masyhur Abadi dalam Transendensi Ilahi . .. . hal. 135. Selanjutnya karya Al-Ghazali ini disingkat MGA.
56. TF, hal. 117.
57. TF, hal. 114.
58. TF, hal. 114.
59. TF, hal. 114.
60. TF, hal. 115. Al-Ghazali nampaknya membuat alterhatif keempat bagi hubungan Esensi dengan sifat-sifat, yakni, hubungan ‘kemanungggalan’ antara Esensi dengan sifat-sifat, sejauh menyangkut Tuhan-sebagai-batas-akhir rangkaian kausalitas.
61. TF, hal. 116.
62. TF, hal. 115.
63. TF. hal. 117, 127.
64. TF, hal. 115, 116.
65. TF, hal. 116.
66. TF, hal. 118.
67. TF, hal. 119.
68. TF, hal. 119.
69. FT, hal. 170-71,173.
70. IA, hal. 51.
71. FT, hal. 168.
72. FT, hal. 174.
73. FT, hal. 168.
74. IA, hal. 38.
75. IA, hal. 38-39.
76. IA, hal. 43.
77. IA, hal. 38-44.
78. MGA, hal. 130, 131.
79. MGA, hal. 132-134.
80. MGA, hal. 136.
81. Bdk. MGA, hal. 136-139.
82. FT, hal. 170-71,173.
83. IA, hal. 51.
84. IA, hal. 59.
85. IA, hal. 77.
86. Kalangan awam yang dimaksudkan Al-Ghazali adalah para satrawan, ahli nujum, muhadditsin, mufassir, fuqaha, dan bahkan semua orang alim kecuali mereka [ini] yang mengkhususkan diri dan menghabiskan seluruh hidupnya dalam mengarungi samudra ma’rifah; mereka yang memalingkan wajahnya dari dunia, yang ikhlas karena Allah dalam ilmu dan amalnya, yang mengamalkan seluruh ketetapan syari’ah dan adab-adabannya, istiqamah dalam ketaatan dan penghindaran kemungkaran, yang mengosongkan kalbunya dari selain Allah, yang memandang rendah keduniawian, yang bahkan menganggap sepi keberadaan surga dalam perbandingannya dengan mahabatullah. (IA 52-53, 57)
87. IA, hal. 45-46.
88. IA, hal. 46-47.
89. IA, hal. 48.
90. IA, hal. 63.
91. IA, hal. 64.
92. IA, hal. 65.
93. IA, hal. 66.
94. IA, hal. 67-68.
95. IA, hal. 77. Sepanjang menyangkut pengetahuan, Al-Ghazali menekankan adanya aspek realitas tingkatan manusia (orang berpengetahuan) yang didasarkan pada adanya tingkatan-tingkatan dalam realitas pengetahuan. Namun demikian, hierarki pengetahuan dan wujud yang menjadi gagasan utama dalam epistemologi dan sistem pemikiran Al-Ghazali tidak dimaksudkannya untuk mengimplikasikan legitimasi sistem kata sosial dalam Islam. (Osman Bakar, Ibid., hal. 65-57) Gagasan tentang hierarki pengetahuan dalam Islam, menurut al-Attas, tidak boleh disamakan dengan hierarki yang mensahkan penindasan, eksploitasi, dan dominasi seolah-olah sebagai prinsip yang ditetapkan Tuhan. Sementara itu, kenyataan telah terjadinya kekacauan hierarki di dalam masyarakat tidak berarti bahwa hierarki manusia ini tidak sah, sebab pada kenyataannya terdapat hierarki yang sah dalam tingkat-tingkat penciptaan, dan ini merupakan Peraturan Ilahi yang meliputi semua makhluk dan yang memanifestasikan adanya keadilan. (Dalam, Ibid.)
96. IA, hal. 76-77.
97. IA, hal. 52-53.
98. IA, hal. 56.
99. IA, hal. 56.
100. IA, hal. 53.
101. FT, hal. 174.
102. FT, hal. 162.
103. FT, hal. 163.
104. FT, hal. 161, 163.
105. FT, hal. 158-59.
106. FT, hal. 176.
107. FT, hal. 177, 179.
108. FT, hal. 182, 186.
109. FT, hal. 186, 190.
110. IA, hal. 60-62.
111. Pengkafiran, menurut Al-Ghazali, bisa saja diarahkan kepada mereka yang mengubah pengertian lahiriah menyangkut prinsip-prinsip pokok kepercayaan penting—meliputi kepercayaan kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari kemudian—tanpa adanya burhan yang jelas, sehingga dihawatirkan dapat membahayakan eksistensi agama. Misalnya, mereka yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh-tubuh pada hari kiamat dan adanya hukuman-hukuman inderawi di akhirat; mereka yang beranggapan bahwa Tuhan hanya mengetahui Diri-Nya, dan tidak mengetahui hal-hal yang bersifat rincian, atau hanya mengetahuinya secara universal. Ini merupakan pendustaan terhadap Rasul. (FT, hal. 179-80, 182)
112. Ian Richard Netton, Allah Transcendent : Studies in the Structure and Semiotics of Islamic Philosopy, Theology ang Cosmology, 1989, New York: Routledge, hal. 22.
113. Oliver Leaman, Ibid., hal. 139
114. Ibid., hal. 8
<><>

No comments: