silakan menikmati

Blog ini saya gunakan untuk menyimpan tulisan-tulisan saya sendiri dan juga tulisan-tulisan lain yang inspiratif.
Jangan sungkan untuk berkomentar.

Thursday, November 11, 2010

Teologi Mistis Al-Ghazali (I)

Saleh Rahmana

Al-Ghazali, Ilmu Kalam, dan Mistisisme

Sebenarnya Al-Ghazali memandang baik keberadaan Ilmu Kalam sejauh ia dilihat sebagai alat untuk membela dan mempertahankan akidah Ahlus Sunnah wal-Jamaah dari pengrusakan-pengrusakan yang dilancarkan para pembid’ah.1 Akan tetapi dalam keefektifannya untuk menghasilkan sebentuk pengetahuan yang dapat memberikan kejelasan hakikat mengenai berbagai persoalan (haqaiq al-umur), yakni suatu ilm al-yaqin yang “mampu menyingkap sesuatu sejelas-jelasnya sehingga tidak menyisakan ruang bagi bersitan hati akan adanya keraguan atau kemungkinan salah dan keliru,”2 maka Ilmu Kalam, bagi Al-Ghazali, tidak mampu memberikan kontribusi solutif bagi keterjaminan realisasi pengetahuan seperti ini. “Ilmu Kalam tidaklah cukup, sebab ia bukan obat penawar bagi penyakit yang kuderita”3 Dalam Ihya-nya, beliau berkata,

Ada yang menduga bahwa kegunaannya [Ilmu Kalam] adalah untuk menyingkap hakikat serta mengetahui hakikat apa adanya. Tidak demikian! Sebab Ilmu Kalam tidak bisa memenuhi tujuan mulia ini. Bahkan boleh jadi penyesatan dan kebingungan akan lebih banyak ditemui ketimbang pengungkapan dan pemahaman (tentang hakikat).4

Bahkan, sepanjang sasaran ilm al-yaqin diperhatikan, Al-Ghazali cenderung melihat Ilmu Kalam dengan nada kritik yang sangat tajam. Dalam Faishal al-Tafriqahnya, beliau mengatakan:

Kalau boleh meninggalkan sikap sopan santun dan keharusan menjaga perasaan orang lain, tentulah kami akan mengatakan secara terus terang bahwa mendalami Ilmu Kalam adalah haram dikarenakan banyaknya bahaya yang terkandung di dalamya.5

Kendatipun demikian, peringatan keras untuk tidak menyusahkan diri dengan pertanyaan dan penyelidikan atas persoalan-persoalan teologis tersebut nampaknya, sebagaimana akan telihat nanti, ditujukkan kepada kalangan awam yang tidak memiliki kemampuan untuk menyelaminya. Sementara terhadap mereka yang memiliki kecerdasan, Al-Ghazali nampaknya tidak begitu menghalang-halangi untuk membicarakan dan membahas persoalan-persoalan teologis tersebut, dengan catatan bahwa hal itu harus dilakukan secara sungguh-sungguh hingga sampai pada puncak derajat mutakallimin dan melampauinya dengan mendalami ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan Ilmu Kalam.

Pelarangan Al-Ghazali atas orang-orang awam untuk mengajukan pertanyaan, melakukan pembahasan dan penelitian atas persoalan teologis tersebut disebabkan karena, menurutnya, kegiatan-kegiatan seperti itu tidak akan membawa banyak manfaat, dan bahkan, alih-alih, akan memunculkan banyak persoalan menyangkut keimanan mereka. Terhadap mereka, Al-Ghazali menganjurkan untuk diam (terhadap persoalan-persoalan teologis) dan meningkatkan ketaatan beribadah dan bertaqwa, mengerjakan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya.6

Sementara kelonggarannya terhadap orang-orang cerdas untuk melakukan kegiatan yang sama disebabkan karena, disamping kesadarannya akan keberbedaan watak setiap individu dalam merasakan efektifitas penyembuhan Ilmu Kalam bagi penderitaan intelektualitasnya,7 keyakinan Al-Ghazali bahwa pendalaman mereka yang seperti itu akan mengantarkan mereka kepada bukti ketertutupan jalan Ilmu Kalam menuju hakikat pengetahuan.8

Resistensi Al-Ghazali terhadap Ilmu Kalam (sebagaimana terhadap filsafat) tersebut nampaknya dikarenakan kecenderungan disiplin ilmu tersebut untuk rentan terhadap intervensi rasio (akal) yang kapasitasnya beliau ragukan dalam menangani persoalan-persoalan (metafisika) ketuhanan, misalnya, mengenai Esensi dan sifat-sifat-Nya.9 Dalam MASALAH IV tentang “Sanggahan Terhadap Pandangan yang Menolak Sifat-sifat Tuhan” dari Tafahut al-Falasifahnya, misalnya, Al-Ghazali mengatakan bahwa masalah Ketuhanan berada diluar batas kemampuan penyelidikan intelekual manusia. Sementara sanggahan rasionalnya terhadap pandangan-pandangan tersebut tidak dimaksudkan untuk menyusun argumen-argumen konklusif tentang realitas Ketuhanan—sebab hal ini tidak mungkin dilakukan melalui rasio—melainkan hanya untuk menunjukkan kerancuan dalam argumen-argumen para filsuf yang mengklaim telah menyajikan pengetahuan tentang realitas Ketuhanan melalui argumen-argumen rasional. Posisi Al-Ghazali, seperti diakuinya, bukan sebagai tukang bangunan, melainkan sebagai penghancur atau pengkritik, “Saya akan mendekati mereka [para filsuf (rasionalis)] dengan maksud untuk menyerang mereka, bukan mempertahankan milik saya sendiri.”10 Itulah sebabnya, lanjut beliau, mengapa buku tersebut disebut Tahafut al-Falasifah (kerancuan-kerancuan para filosof) dan bukan Sebuah Pengantar Kepada Kebenaran. Untuk memperkuat pandangannya ini Al-Ghazali mengutip hadits Nabi terkenal, ”Pikirkanlah tentang ciptaan aktivitas kreatif Tuhan; dan jangan pikirkan tentang Esensi-Nya.”11

Kritik Al-Ghazali terhadap fungsi berlebihan dari rasionalisme untuk mema-hami persoalan-persoalan metafisika, muncul terutama setelah beliau memasuki jalan tashawwuf. Menurutnya, jalan Shufi adalah yang paling tepat dalam menuju Tuhan. “Bahkan seandainya seseorang menggabungkan pandangan para cendikiawan, kearifan para ahli hikmah (filsuf), dan ilmu para ulama yang memahami rahasia-rahasia wahyu (syari’at) untuk membuat cara-cara yang lebih utama dari cara kaum Shufi, maka usaha itu akan sia-sia. Sebab semua gerak dan diamnya, lahir maupun batin, diperoleh dari cahaya relung nubuwwah, dan diluar cahaya itu tidak ada cahaya di bumi yang bisa membawa pada pencerahan”.12 Dan, nampaknya cahaya inilah yang dikatakan Al-Ghazali telah menyembuhkannya dari derita intelektualnya tanpa penyusunan bukti ataupun argumen, yakni “suatu cahaya yang dihujamkan Tuhan ke dalam dada, dan yang merupakan kunci sebagian besar pengetahuan”.13

Hierarki Fakultas Epistemologis

Pertemuan Al-Ghazali dengan ‘jalan tashawwuf’ membuat dirinya mengakui gradasi tingkatan-tingkatan persepsi epistemologis dalam memperoleh pengetahuan tentang berbagai macam wujud yang ada (al-maujudat), mulai dari persepsi inderawi seperti organ peraba, pendengaran, penglihatan, dan lain-lain, juga tamyiz; persepsi rasional dan persepsi nubuwwah (mudrikat al-nubuwwah). Berikut adalah uraiannya:

Indera. Terdapat beberapa fakultas [subjektif] inderawi, yaitu: 1) indera peraba, yang membedakan tingkatan-tingkatan wujud tertentu seperti, panas, dingin, basah, kering, halus, kasar, dan lain-lain; 2) indera penglihatan, yang mampu melakukan hal yang sama seperti indera peraba tetapi terhadap warna-warna dan bentuk-bentuk; 3) indera pendengaran, yang objeknya adalah suara dan nada; 4) indera perasa; dan seterusnya hingga terlampauilah dunia inderawi.

Tamyiz. Dalam al-Munqidznya, Al-Ghazali nampaknya tidak berbicara panjang lebar tentang fakultas ini, kecuali mengatakan bahwa ”Ia [tamyiz] mulai tumbuh sekitar umur tujuh tahun dan merupakan salah satu perkembangan (thaur) lainnya [disamping indera] dari keberadaan manusia yang dalam perkembangan tersebut ia dapat mempersepsi persoalan-persoalan di luar alam inderawi [subjektif] (zaidah ‘ala), dimana tidak ditemukan dari persoalan-persoalan tersebut sesuatupun [seperti yang ditemukan] di dalam alam inderawi.”14

Rasio (‘aql). Sebagaimana tamyiz, tentang rasio, Al-Ghazali mengatakan bahwa ia adalah perkembangan wujud manusia lainnya yang memungkinkannya mempersepsi hal-hal yang merupakan kewajiban-kewajiban (al-wajibat), kebolehan-kebolehan (al-jaizat), dan hal-hal atau yang tidak mungkin dilaksanakan (al-mustahiilat), serta persoalan persoalan lainnya yang tidak temukan dalam perkembangan-perkembangan sebelumnya.15 Fakultas ini nampaknya berkaitan dengan persoalan-persoalan etika.

Nubuwwah. Nubuwwah dapat dikatakan sebagai suatu perangkat epistemologis yang melampaui kemampuan akal. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan Al-Ghazali ketika ia membandingkannya dengan akal di satu sisi, dan indera di sisi lain:

Sebagaimana [kemunculan] akal merupakan salah satu perkembangan fitrawi manusia (al-adamiy) yang memunculkan suatu “mata” yang dengannya dia dapat melihat berbagai objek penalaran (anwa’ al-ma’qulat) yang berada diluar jangkauan indera, begitu juga kekuatan nubuwwah merupakan perkembangan tertentu yang memunculkan suatu “mata” bercahaya, yang didalam cahayanya itu hal-hal ghaib dan persoalan-persoalan lain yang tidak bisa dipersepsi akal menjadi nampak”16

Dengan pancaran cahaya nubuwwah, bentuk inderawi (jiwa) malaikat, misalnya, dapat terlihat di alam khasnya, sebagaimana mata melihat alam zahir ini melalui cahaya matahari.17 Penglihatan akan hal-hal yang ghaib seperti itu, menurut Al-Ghazali, hanyalah salah satu contoh saja dari fenomena nubuwwah yang sengaja dikemukannya dikarenakan adanya contoh fenomena serupa yang biasa dialami kalangan masyarakat biasa, yakni penglihatan di waktu tidur. Seseorang, misalnya, melihat hal-hal yang tidak diketahuinya ketika terjaga, hal-hal ghaib, baik secara jelas ataupun samar-samar yang maknanya hanya dapat diungkap melalui penafsiran atau penakwilan.18

Pemahaman tentang keistimewaan-kestimewaan lainnya dari nubuwwah, menurut Al-Ghazali, dapat diperoleh melalui [fakultas] dzauq, yang dapat dibangkitkan dengan cara menempuh jalan tashawwuf.19 Kekhususan jalan Shufi yang utama, menurut Al-Ghazali, adalah bahwa ia tidak bisa ditempuh dengan cara mempelajarinya [secara teoritis], melainkan melalui dzauq, kondisi batin (hal), dan perubahan karakter (shifat).20 Dzauq adalah semacam penyaksian atau pengalaman langsung bahkan semacam sentuhan tangan atas suatu objek,21 bukan sekadar pemahaman atas definisinya. Al-Ghazali memberikan ilustrasi pengetahuan yang diperoleh lewat dzauq dengan pengetahuan tentang lapar, mabuk dan sehat. Seorang Shufi dengan dzauq-nya mengetahui lapar tidak hanya dengan definisinya, melainkan dengan pengalaman langsungnya tentang rasa lapar, mabuk, sehat dan seterusnya. Inilah yang menjadi keistimewaan jalan tashawwuf dibandingkan dengan Ilmu Kalam dan filsafat sekalipun. Bagi Al-Ghazali, para Shufi adalah penguasa ahwal (arbab al-ahwal) dan bukan pengobral kata-kata (ashab al-aqwal).22

Secara umum jalan Shufi merupakan upaya penyucian hati dari segala sesuatu selain Allah dengan cara menenggelamkannya dalam dzikr kepada-Nya, sehingga tercapai kondisi fana’ total di dalam-Nya. Ini merupakan awal dari jalan (thariqah) tersebut, dimana peristiwa-peristiwa mukasyafah dan musyahadah mulai terjadi. Dalam keadaan ini, seorang Shufi, misalnya, “bisa melihat, sekalipun dalam keadaan terjaga, para malaikat, jiwa-jiwa para nabi, mendengar suara mereka dan memperoleh pelajaran yang bermanfaat dari mereka,”23 lalu mengalami kenaikan dari penyaksian bentuk-bentuk dan perumpamaan-perumpamaan (amtsal) ke jenjang-jenjang bebas-bentuk yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, atau suatu kedekatan kepada Tuhan yang oleh sebagian orang disebut dengan hulul, ittihad, dan wushul.

Pencapaian seperti ini, sebagaimana dialami Al-Ghazali sendiri, tentu saja diawali dengan upaya-upaya untuk mau dan mampu mengendalikan syahwat dan hawa nafsunya, meninggalkan persoalan-persoalan yang bersifat duniawi seperti kemashyuran, dan mengalihkan perhatian pada persoalan-persoalan keakhiratan serta mencurahkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan yang ikhlas.24 Seseorang yang belum dianugrahi keadaan-keadaan seperti itu melalui dzauq, maka dia tidak bisa memahami hakikat nubuwwah kecuali namanya saja.25 Ringkasnya, hakikat nubuwwah adalah jalan untuk memahami berbagai persoalan yang tidak bisa dipahami akal.26 Karenanya, mereka yang hanya mengandalkan akal semata-mata, menurut Al-Ghazali, tidak akan pernah sampai pada pengetahuan-pengetahuan seperti itu.27

Otoritas akal, menurut Al-Ghazali, adalah sekadar menyadarkan kita tentang ketidakmampuannya untuk memahami hal-hal yang hanya dapat dipahami melalui cahaya atau ”mata” nubuwwah (kenabian), seperti mengenai jumlah rakaat shalat. Akal bertugas membimbing tangan kita dan menyerahkannya kepada para nabi seperti kepasrahannya pada penuntunya atau kepasrahan seseorang yang tengah sakit kepada dokter-dokter yang menanganinya.28 Memang wahyu ilahi yang dibawa Nabi tidak mendukung apa yang dianggap akal sebagai mustahil untuk diterima. Akan tetapi di sisi lain keberadaan sesuatu yang tidak bisa diterima akal bukanlah hal yang mustahil.29 Ini berarti bahwa tidak setiap persoalan dapat ditundukkan dibawah rambu-rambu rasionalitas, dan sebagian persoalan pasti luput dari hukum-hukum rasionalitas tersebut. Agama, menurut Al-Ghazali, memiliki gambaran-gambaran yang tidak selalu mudah diterima akal.30

Mengapa, misalnya, amalan ibadah dengan cara-cara dan jumlah yang telah ditetapkan para nabi dapat menyembuhkan penyakit kalbu––yakni hakikat nafs yang menjadi tempat ma’rifat kepada Allah, bukan segumpal daging dan darah yang juga terdapat pada bangkai dan binatang31––atas kegandrungannya terhadap hal-hal yang sifatnya duniawi, hal ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin bisa dimengerti oleh akal.

Sungguh bodoh orang yang hendak mengungkap hikmah dalam perbedaan-perbedaan [jumlah rakaat shalat] itu melalui sumber akal, atau menganggap perbedaan tersebut hanyalah kebetulan semata, dan bukan karena adanya rahasia ketuhanan yang mengharuskan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, karena adanya khasiat-khasiat tertentu pada setiap amalan tersebut.32

Meski akal tidak dapat memahaminya, ia tetap berkewajiban mengikuti jalan para nabi yang memahami kekhususan-kekhususan ini melalui cahaya kenabian, bukan melalui akal.33 Kelemahan keyakinan (iman) pada dasar nubuwwah berakibat pada kelemahan keyakinan pada hakikat nubuwwah dan selanjutnya berakibat pada kelemahan keyakinan pada amalan yang telah dijelaskan oleh [berita] nubuwwah.34

Orang yang berpura-pura mengakui eksistensi kenabian, tetapi menyamakan ajaran-ajaran syara’ dengan kearifan manusia, maka sebenarnya dia kufur terhadap kenabian. Dalam kondisi seperti itu, sebenarnya dia hanya percaya kepada seseorang bijak yang memiliki beberapa keistimewaan yang banyak diikuti orang, dan bukan pada Nabi .

Hal ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan nubuwwah, sebab keimanan kepada kenabian berarti mengakui adanya suatu tingkatan yang berada di luar jangkauan akal. Pada tingkatan ini, sebuah mata terbuka sehingga terpersepsilah hal-hal yang tidak bisa dipersepsi akal.35

Tentang akal, Al-Ghazali nampaknya berpendapat bahwa kapasitas dan otoritas akal hanya berlaku pada wilayah dan kaplingnya sendiri yang tidak boleh dilangkahi jika ia tidak ingin terjerumus dalam bid’ah dan kekufuran. Akal menurut Al-Ghazali, tidak mengetahui tentang hal-hal setelah kematian dan tidak dapat menentukan pengarahan tentang bahaya maksiat atau manfaat ketaatan. Pengetahuan tentang persoalan-persoalan keakhiratan atau hal-hal ghaib lainnya, seperti tentang masa depan dan masa lalu, serta hal-hal yang berada diluar jangkauan kemampuan akal, hanya dapat dicapai melalui fungsi nubuwwah (kenabian).36 Akses pada nubuwwah tercapai melalui visi-mimpi (ru’yah) yang kerap kali dialami dalam mimpi, meskipun dapat juga terjadi dalam keadaan terjaga bagi para nabi dan ahli-ahli ma’rifah.37 Akses nubuwwah ini terealisasi, misalnya, dengan penglihatan seseorang dalam visi mimpinya akan Rasulullah atau para rasul lainnya, orang-orang yang telah mati, atau bahkan Tuhan itu sendiri.

Apa yang dilihat dalam visi-mimpi, tentang Nabi misalnya, bukanlah suatu sosok yang terdiri dari materi fisis, melainkan perumpamaan dari sosoknya atau dari hakikat jiwanya yang tersucikan dari bentuk (fisis) yang menjelma melalui kekuatan imajinasi. Adalah sulit untuk menerima pemahaman bahwa bentuk yang terlihat dalam visi-mimpi tersebut sebagai suatu sosok apa adanya, sebagai hakikat orangnya, sementara jasad fisik Nabi yang telah meninggal tetap berada dalam kuburan. Perumpamaan dengan struktur bentuk dan warnanya yang terlihat dalam visi-mimpi ini merupakan wahana yang diperlukan agar seseorang dapat sampai pada pemahaman yang menjadi sasaran nubuwwah tersebut, kendatipun substansi nubuwwah itu sendiri, yakni nafs suci Nabi Saw yang kekal setelah kematiannya, tersucikan dari bentuk dan warna. Bentuk sosok Nabi yang dilihat seseorang (dalam visi-mimpinya), misalnya, merupakan perumpamaan yang menjadi perantara [wahana] antara Nabi dan dirinya dengan tujuan untuk memberitahukan kebenaran kepadanya. Dan inilah makna dari hadits Nabi, “Barang siapa yang telah melihatku, maka sungguh dia telah melihatku, sebab syetan tidak bisa menyerupainku”.38

Namun demikian perumpamaan ini kadang-kadang benar—dalam arti bahwa Allah menjadikan mimpinya sebagai perantara antara orang yang bermimpi dengan Nabi untuk memberitahukan beberapa perkara, dan sebagai ketentuan bagi seorang hamba untuk mencapai kebenaran melalui cara seperti ini—dan kadang-kadang dusta. Apa yang yang dilihat orang tidur dalam visi-mimpinya (tentang hal-hal ghaib, misalnya) bisa tampil secara jelas (sharih) atau dalam selubung perumpamaan (kiswah mitsal) yang maknanya hanya dapat tersingkap melalui ta’bir.39 Perumpamaan yang dilihat seseorang dalam visi-mimpi juga berlaku pada Tuhan. Apa yang dilihatnya tentang Tuhan bukanlah Dzat-Nya melainkan perumpamaan fisis sebagai piranti perkenalan Diri-Nya kepada makhluk-Nya. Perumpaman tentang Tuhan misalnya dijelmakan dalam bentuk cahaya dan bentuk lain-lainnya yang indah.40

Kesemua uraian ini dapat membantu kita untuk memahami mengapa Al-Ghazali mengambil sikap dan pandangan yang tidak begitu optimis dengan Ilmu Kalam. Jelaslah bahwa sikap dan pandangannya yang seperti itu tidak dimaksudkan sebagai penentangan terhadap Ilmu Kalam (teologi), melainkan lebih kepada perumusannya yang dilakukan secara rasional-dialektik.41

Hierarki Ontologis wujud

Sejalan dengan pembagian atau pembedaan Al-Ghazali atas gradasi fakultas epistemologis yang terdapat pada diri subjek (manusia), kita juga menemukan pembedaannya atas gradasi ontologis wujud yang masing-masing secara korespondensif, sebagaimana akan kita analisis, tampak menjadi objek kajian fakultas-fakultas epistemologis yang bergradasi tersebut. Terdapat lima tingkatan ontologis wujud dimana setiap tingkatan yang lebih dahulu meliputi tingkatan-tingkatan selanjutnya.42

Pertama, wujud esensial (dzati), yakni, wujud hakiki yang berada diluar perasaan dan indera manusia, namun walau demikian, ia dapat kita persepsi oleh keduanya. Misalnya, langit dan bumi.

Kedua, wujud inderawi (hissi), wujud yang tergambar dalam penglihatan mata meskipun pada dirinya sendiri ia tidak memiliki realitasnya sendiri (seperti halnya wujud pertama). Misalnya, bentuk lingkaran api yang dihasilkan oleh gerakan melingkar tangan yang cepat atas setitik nyala api. Api tersebut terlihat dan terasa seolah-olah berbentuk lingkaran dalam satu waktu tunggal, padahal kenyataannya hanyalah setitik api dalam rentetan waktu dan gerakan yang cepat. Begitu pulah halnya dengan gambaran wujud Rasulullah (dan yang lainnya) yang terlihat dalam mimpi; apa yang dilihat orang sakit; bentuk-bentuk indah seperti substansi malaikat dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan alam ghaib yang dilihat para Nabi atau wali dalam keadaan sadar sebagaimana terlihat oleh orang-orang biasa dalam keadaan tidur; misalnya lagi dalam hadits Rasulullah, “Pada hari kiamat maut ditampilkan dalam bentuk domba yang sangat bagus kemudian domba itu disembelih antara surga dan neraka”; atau hadits lainnya, “Diperlihatkan kepadaku surga seluas dinding ini.”

Ketiga, wujud khayyali, wujud suatu objek yang terlihat dalam angan-angan setelah objek tersebut tidak lagi berada dalam wilayah penglihatan mata. Misalnya kita dapat melihat bentuk gajah dan yang lainnya, meski dengan mata tertutup. Fenomena khayali juga dapat berupa kesaksian inderawi seorang Rasul [dalam keadaan terjaga] atas suatu gambaran yang disaksikan orang biasa pada waktu tidur. Al-Ghazali tampaknya tidak begitu ketat membedakan antara wujud inderawi dan khayali. “Sedikit sekali terjadi kejelasan secara demonstratif (burhan) bahwa sesuatu yang tergambar dalam khayyal tidak mungkin tersaksikan.”43 Ini misalnya ditunjukkan hadits, “Seolah-olah aku melihat Yunus ibn Matius yang mengenakan dua jubah bagaikan sayap, sambil memanggil-manggil dan gunung-gunung pun menyahut. Kemudian Allah Ta’ala berfirman kepadanya: “Aku di sini wahai Yunus.”44

Keempat, wujud rasional (aqliy), yakni, makna atau hakikat suatu objek yang telah dilepaskan dari bentuk-bentuknya, baik secara hakiki, inderawi, maupun khayali, sehingga tampil sebagai suatu abstraksi. Misalnya, kemampuan untuk memukul, memberi, menghalangi dan yang serupa, merupakan makna abstrak dari suatu objek seperti tangan yang juga memiliki bentuk hakiki, inderawi, dan khayali. Misalkan lagi hadits, “Orang-orang yang paling akhir keluar dari neraka akan diberi surga senilai sepuluh kali dunia ini.” Ungkapan “senilai sepuluh kali dunia” di sini tidak mesti dipahami secara literal sebab terdapat keterangan hadits lain yang menyatakan bahwa ungkapan tersebut merujuk pada ke-sangat-luas-an surga itu sendiri.

Kelima, wujud metaforis (syabahi), yakni, wujud sesuatu yang keberadaannya tidak ditemukan baik pada wujud hakiki, inderawi, khayali, dan aqli, melainkan pada sesuatu yang lain yang memiliki kesamaan ciri dan sifat dengannya. Misalnya, kehendak untuk menghukum merupakan wujud metaforis pada sifat marah Allah, sebab tidak mungkin Dia beratributkan sifat tersebut baik secara esensial, inderawi, khayali maupun aqli.45

Dalam istilah Mehdi Heiri Yazdi,46 tingkatan wujud pertama, esensial, yang menjadi objek fakultas epistemologis persepsi atau indera disebut sebagai objek transitif (objektif) karena secara ekternal, sebagaimana dikatakan Al-Ghazali sendiri, ia berada diluar diri subjek (epistemologis). Masih dalam kerangka istilah Mehdi, objek transitif ini dibedakan dari objek imanen (subjektif, mental) yang keberadaannya, berbeda dengan objek objekif, yang terdapat dalam atau tidak bisa terpisahkan dari diri subjek itu sendiri. Dalam gradasi wujud Al-Ghazali, objek subjektif ini nampaknya dapat dipadankan dengan objek inderawi yang berciri, sebagaimana dikatakannya, tidak memiliki realitasnya sendiri (sebagaimana yang dimiliki oleh objek eksternal yang berada di tingkatan wujud esensial). Dalam konteks diskursus filsafat pengetahuan, pemisahan dan pembedaan antara objek-objektif dan objek-subjektif dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa objek-objektif merupakan sesuatu yang tidak bisa dijangkau pengetahuan secara apa adanya akan tetapi diandaikan keberadaannya sebagai sumber munculnya berbagai pengetahuan. Apa yang terjangkau pengetahuan manusia hanyalah objek subjektif, apakah sebagai buah dari relasi intensional atau relasi representatif dengan wujud esensial ataupun wujud imajinatif, yang tidak terlepas dari keberadaan subjek itu sendiri.47 Dan, dalam konteks pemikiran Al-Ghazali, keterpisahan dan/atau keberbedaan antara objek subjektif (wujud inderawi) dan objek objektif (wujud esensial) ini nampaknya dimungkinkan oleh adalanya fakultas tamyiz dalam diri manusia.48

Secara sepintas memang dapat kita katakan bahwa objek-subjektif wujud-inderawi Al-Ghazali diperoleh melalui relasi intensionalitas antara fakutas indera dan objek yang berada dalam wilayah penglihatan mata (wujud eksternal). Akan tetapi, mengingat contoh yang diberikannya seperti wujud Rasulullah yang terlihat dalam mimpi atau bentuk-bentuk malaikat dan hal-hal ghaib lainnya, kita nampaknya perlu membedakan dua macam kualitas indera yang dapat mempersepsi objek yang disebut wujud-inderawi ini. Pertama adalah fakultas indera-fisik (material), yang wilayah jangkauannya terbatas pada objek-objek empiris. Kedua adalah fakultas indera-nonfisik (immaterial), yang kapasitas penglihatannya mampu menjangkau bentuk-bentuk atau objek-objek yang bersifat non-empiris (immaterial) dalam kacamata indera-fisik. Dalam konteks Al-Ghazali, kapasitas penglihatan fakultas indera-nonfisik dapat diidentifikasi dengan persepsi nubuwwah. Jika indera pertama terdapat pada khalayak umum, maka indera jenis kedua terdapat pada orang-orang khusus seperti para nabi, wali atau ahli-ahli ma’rifah (gnosis) lainnya. Apa yang dalam penglihatan khalayak umum sebagai objek non-inderawi (objek yang dilihat dalam mimpi, misalnya) sangat mungkin merupakan inderawi bagi orang-orang khusus tersebut.

Fakultas indera-fisik dan non-fisik ini juga dapat difungsikan sebagai fakultas-fakultas yang efektifitasnya kita asumsikan bekerja di wilayah tingkat wujud ketiga, yaitu imajinasi. Sebab apa yang dipersepsi kedua indera tersebut tidak kurang imajinatifnya dibandingkan wujud-wujud imajinatif (khayyali) ini. Dalam konteks filsafat posmodernisme, misalnya, objek-objek yang secara representatif atau secara intensionalitas kita persepsi melalui fakultas indera pada dasarnya adalah imaji-imaji yang secara kreatif diproduksi oleh imajinasi untuk menghasilkan konsep-konsep imajerial atau pengetahuan. Sehingga di sini sulit kiranya bagi kita untuk membedakan antara wujud inderawi dan imajinasi. Dari sini, kiranya juga Al-Ghazali akan setuju jika kita mengidentifikasi wujud-imajinasinya sebagai wujud imajinasi-inderawi. Jika memang demikian, maka tidak salah jika diasumsikan bahwa dalam konteks onto-epistemologinya (hubungan subjek-objek dalam proses pembentukan pengetahuan), Al-Ghazali memaksudkan fakultas indera sebagai alat untuk memahami wujud imajinasi-inderawi ini.

Titik pokok mengenai wilayah imajinal [tempat imaji-imaji], menurut Oliver Leaman,49 adalah mengingatkan kita tentang adanya sebuah tahapan dalam pikiran manusia yang bergelut dengan macam-macam ide yang tidak sepenuhnya ditentukan oleh pengalaman (inderawi) dan tidak pula sepenuhnya terlepas darinya. Arti penting ranah imajinal adalah sifatnya yang menghubungkan alam kita [material] dengan tataran ide dan abstraksi tertinggi [makna-makna tak-berbentuk]. Imajinasi menggiatkan kemampuan intelek untuk dapat menghadirkan berbagai ide alam fisik, yang hanya bisa terjadi apabila intelek bersentuhan dengan ide-ide imajiner––untuk kemudian menggapai ide-ide abstrak dan murni intellekual.50

Selanjutnya, mengingat pembedaan antara dua fakultas indera di atas, maka wujud imajinasi-inderawi ini dapat kita bedakan ke dalam dua jenis. Yakni, jenis yang diturunkan dari pengalaman intensionalitas-empiris indera fisik dengan realitas eksternal-material dan jenis yang diturunkan dari pengalaman intesionalitas-nonempiris indera-nonfisik dengan realitas immaterial. Jenis pertama menjadi wilayah jangkauan kapasitas indera-fisik karena pemverifikasian tentangnya tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan pengalaman intensionalitas empiris-material, sementara jenis kedua menjadi wilayah jangkauan indera-nonfisik dalam keterkaitannya dengan pengalaman-pengalaman yang bersifat immaterial bagi sudut pandang indera fisik.

Dari perspektif Al-Ghazali (dan para Shufi lainnya), kita dapat melihat bahwa objek-subjektif-imajinatif dapat diperoleh dari dua sumber ontologis wujud, yakni objek-objektif material (di luar subjek) yang berada di tingkatan wujud inderawi-empiris (esensial) dan yang berada di tingkatan wujud inderawi-imajinatif immaterial, yang hanya dicapai melalui cahaya nubuwwah.51

Dari sini kita dapat melompat pada pembicaraan tentang tingkatan wujud terakhir, yaitu wujud metaforis. Tingkatan ini nampaknya dapat ditangkap baik oleh fakultas indera- fisik, dengan catatan bahwa ia identik dengan wujud imajinasi-inderawi yang tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan pengalaman empiris material. Memang keberadan wujud ini, seperti dikatakan Al-Ghazali, tidak ditemukan baik pada wujud hakiki, inderawi, khayali, dan aqli, akan tetapi tidak berarti bahwa ia tidak menjadi objek dari suatu fakultas tertentu. Ketika dikatakan bahwa wujud metaforis sesuatu ditemukan pada sesuatu yang lain yang memiliki kesamaan ciri dan sifat dengannya, maka mestilah terdapat fakultas yang mempersepsinya.

Dalam konteks posmodernisme, misalnya, persoalan metafora ini dikaitkan dengan persoalan bahasa. Bahasa merupakan rumah atau wadah yang mengemas realitas sehingga membuatnya dapat terpahami. Namun demikian, apa yang kemudian dibajui bahasa bukanlah realitas ekternal yang terlepas dari diri subjek (objek objektif) melainkan imaji-imaji atau konsep-konsep imajerial tentang realitas tersebut (objek subjektif) yang terdapat dalam imajinasi-inderawi. Karena bahasa merujuk bukan kepada realitas eksternal melainkan kepada objek-objek imajerial, maka di satu sisi ia tidak meiliki hubungan korespondensif satu persatu dengan objek-objek yang terdapat dalam realitas eksternal, di sisi lain ia dapat memiliki hubungan korespondensif satu berbanding tak terbatas dengan imaji-imaji tersebut. Dan, hubungan satu berbanding tak terbatas ini dijadikan mungkin karena keberadaan imajinasi-inderawi/empiris (bukan nubuwwah), yang berkemampuan untuk mengumpulkan, mengkombinasikan, menggabungkan dan menyatukan berbagai imaji atau konsep dalam keseluruhan yang lengkap. Inilah yang disebut fungsi bisosiatif imajinasi, yakni daya atau kemampuan untuk mengaitkan imaji-imaji yang tidak berkaitan, merelevankan imaji-imaji yang nampak saling tidak relevan. Misalnya, bagaimana mikroprosesor komputer dan otak manusia yang merupakan dua bidang yang berbeda dapat dikaitkan. Dengan cara seperti inilah imajinasi memainkan peran pentingnya dalam pengembangan pengetahuan.52 Dan, bentuk metafora muncul dari kegiatan imajinasi yang bersifat bisosiatif seperti ini. Melalui metafora, dua medan yang berbeda dapat digabungkan ke dalam satu hubungan emosional yang sama.53

Berkenaan dengan tingkat wujud keempat, yaitu rasional, nampaknya hal tersebut sudah jelas, dan tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Fakultas epietemologis untuk mempersepsi wilayah wujud ini tentu saja adalah fakultas rasional (‘aql). Namun demikian, satu hal yang perlu ditunjukkan di sini bahwa menurut Al-Ghazali, seperti telah disinggung di atas, tingkat wujud yang tidak berbentuk ini dapat dicapai dalam kenaikan spiritual yang berlangsung setelah sebelumnya diawali dengan kondisi fana’ ketika kekuatan dzauq seseorang telah hidup.54

Demikianlah, penjelasan yang dikemukakan dengan bantuan analisis dan kutipan yang panjang lebar ini dimaksudkan untuk melihat hubungan korespondensif (kendatipun tidak satu banding satu) antara hierarki ontologis Al-Ghazali dengan hierarki fakultas epistemologisnya.

No comments: