Saat ini tercatat sebagai karyawan PT Krakatau Steel sejak 2 Desember 1985. Pemerhati masalah jiwa (nafs), seni, budaya, dalam ruang lingkup keberserah dirian kepada ALLAH Ta'ala.
Wednesday, July 25, 2012
MENGOMPROMIKAN HISAB DAN RUKYAT
Agar tafakur kita tentang
penetapan awal Ramadan ini menghasilkan hikmah yang bermanfaat
untuk umat, saya ingin memberikan usulan yang
bersifat kompromistis dalam tulisan kali ini. Bahwa, penetapan “awal
bulan” Ramadan dan “awal puasa” Ramadan sebaiknya dimaknai secara
terpisah. Bagaimana maksudnya?
Sesungguhnyalah yang menyebabkan kebingungan umat dalam perbedaan ini adalah
rancunya antara “awal bulan” dan “awal puasa”. Awal bulan adalah permulaan “bulan baru”
yang ditandai oleh ijtima’ alias posisi segaris
antara Bulan-Matahari-Bumi. Ini sebenarnya murni wilayah Astronomi alias ilmu Falak.
Dimana kedua belah pihak yang berbeda memiliki kesepakatan
yang sama. Bahkan sudah sama-sama pintarnya.
Kesamaan itu terlihat dari kesepakatan: bulan Syakban berakhir pada
hari Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Tidak ada perbedaan dalam hal ini.
Kalaupun ada, hanya berbeda tipis, dalam hitungan menit saja.
Bukan jam, atau apalagi hari. Artinya, sudah ada pijakan yang sama
dalam mendekati permasalahan. Kenapa bisa demikian? Karena, kesimpulan ini
memang dibuat berdasar pada fakta posisi Bulan. Bukankah bulan tidak
pernah berbohong? Dan, kita bisa sama-sama mengeceknya di angkasa.
Inilah universalnya Sains, dalam hal ini Astronomi. Dilihat oleh siapa
pun, dan dihitung oleh siapa pun hasilnya kurang lebih sama. Bahkan,
jika yang melihat bulan itu adalah seorang non muslim sekalipun.
Bedanya hanya dalam orde menit, atau bahkan detik disebabkan oleh metode
penghitungan saja.
Perbedaan baru muncul, ketika mau menentukan kapan mulai berpuasa:
Jum’at (20/7) ataukah Sabtu (21/7)? Sebenarnya ini sudah bukan wilayah
Astronomi lagi, melainkan masuk wilayah Fikih. Wilayah Astronomi
bersifat eksak, sedangkan wilayah Fikih bersifat lentur sesuai kondisi
yang menyertainya. Dalam konteks penetapan awal Ramadan,
fakta Astronomi yang eksak dan Fikih yang lentur itu jangan dicampur-adukkan.
Karena, hasilnya akan sangat membingungkan.
Bagaimana Anda tidak bingung membaca pengumuman ini, misalnya.
“Semua lembaga yang berkompeten SEPAKAT bahwa bulan Syakban habis pada
KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Dan karena hilal tidak kelihatan,
maka diputuskan dan ditetapkan bahwa 1 Ramadan 1433 H jatuh pada hari
SABTU, 21 Juli 2012.”
Secara fakta Astronomi kesimpulan semacam ini tidak memperoleh
pijakan. Karena, Syakban adalah bulan ke-8 dalam penanggalan Hijriyah,
dan Ramadan adalah bulan ke-9. Mestinya, tidak ada jeda hari antara
Syakban dan Ramadan. Begitu Syakban habis, langsung masuk ke Ramadan.
Lha ini, Syakban berakhir pada hari Kamis, tapi awal Ramadan jatuh hari Sabtu.
Tidak heran, sejumlah kawan langsung me-SMS saya. Mereka bertanya:
˜lho terus hari Jum’at itu ikut bulan Syakban, ataukah Ramadan,
ataukah tidak punya Bulan, mas?”
Logikanya memang menjadi “jumping”. Sangat sulit
mencernanya. Apalagi ini wilayah ilmu Astronomi yang eksak, bisa
langsung dicek ke angkasa. Logikanya, jika Kamis siang itu bulan Syakban sudah habis, sesaat kemudian sudah masuk bulan Ramadan. Jadi, bulan
sabit yang kita rukyat pada Kamis sore itu sebenarnya adalah “hilal
Ramadan”. Namun, karena usianya masih 6 jam, maka hampir bisa dipastikan hilal itu sulit dilihat oleh mata telanjang. Ya, memang demikian. Semua pihak yang berbeda pendapat pun pasti paham, bahwa hilal seumur 6 jam
tidak mungkin terlihat. Sampai disini, semua sepakat.
Nah, perbedaan itu mulai muncul saat menentukan “awal puasa”. Ini
sebenarnya sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan wilayah ilmu
Fikih. Yang jika rujukan kondisinya berbeda, hasilnya bisa berbeda pula.
Di wilayah Fikih inilah kita bisa memahami, ketika salah satu pihak
memutuskan berpuasa di hari Jum’at, dan lainnya di hari Sabtu.
Bagi yang berpedoman pada wujudul hilal, memutuskan permulaan puasanya Jum’at.
Sedangkan bagi yang menganut ru’yatul hilal, memutuskan berpuasa Sabtu.
Tidak ada masalah, karena rujukan Fikihnya sama-sama sahih.
Dengan demikian, pengumuman hasil isbat itu memiliki argumentasi
Astronomi dan Fikih yang kuat dan tegas, sehingga umat tidak bingung
dibuatnya. Jika diumumkan ke masyarakat luas, barangkali redaksinya
menjadi begini:
“Sesuai dengan hasil perhitungan dan rukyat dari berbagai
lembaga yang berkompeten, bulan Syakban sudah berakhir hari KAMIS, 19
Juli 2012, pukul 11.25 wib. Karena itu, Kamis sore ini bulan Ramadan
sudah datang. Tetapi, karena ketinggian hilal masih sangat rendah, maka
tidak ada yang berhasil merukyatnya. Oleh sebab itu, berdasar pada
sunnah Nabi, pemerintah memutuskan dan menetapkan puasa Ramadan
dimulai SABTU, 21 Juli 2012 “
Clear. Secara Astronomi valid, dan secara fikih
sah. Bahwa, lantas ada yang berbeda pendapat dengan pemerintah, dan
memulai puasanya di hari Jum’at misalnya, tidak masalah. Sangat bisa
dipahami, karena rujukan fikihnya juga jelas. Yakni, barangsiapa
menyaksikan hadirnya bulan Ramadan hendaklah dia berpuasa QS. 2: 185.
Astronomically, Jum’at itu memang sudah masuk 1 Ramadan 1433 H.
Dengan demikian, meskipun belum bisa sepakat bulat, setidak-tidaknya
benang kusutnya sudah mulai terurai. Dan sudah memperoleh titik temu.
Lebih bagus lagi jika urusan Astronomi, diserahkan saja ke LAPAN atau
BOSCHA. Sedangkan urusan fikih dipisah, diserahkan kepada MUI. Dan
menteri agama hanya tinggal membacakan kedua fatwa itu kepada masyarakat luas.
Mudah-mudahan di tahun depan kita sudah bisa memperoleh solusi
lebih baik. Karena, sungguh kita sudah sangat merindukan kebersamaan
ini. Betapa indahnya, jika Ramadan dan Idul Fitri bisa bersama-sama
dengan sahabat dan handai tolan..! Wallahu a’lam bishshawab.
* Dicopas dari blog AGUS MUSTOFA.
* Catatan ini juga diterbitkan di koran Jawa Pos, dan koran anak-anak perusahaannya edisi 24 Juli 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment